Opini  

Kontektualisasi Ibadah Kurban sebagai Refleksi Jiwa Sosial

Jurnalindo.com – Ngomongin spiritualitas seseorang dapat terlihat ketika orang tersebut hidup berdampingan dengan sesama makhlukNya. Di sini ajaran agama mewujud dalam kehidupan sehari-hari dengan mendasarkan pada akhlak sesuai dengan ajaran Kanjeng Nabi SAW.

Dalam setiap ritus pensyariatan peribadatan ada dimensi sosial yang digariskan oleh Gusti Pengeran, bahwa pada ibadah seperti shalat, zakat, puasa, dan lain-lain ada nilaiĀ² sosial yang harus kita ejawantahkan dalam sikap keseharian. Dengan adanya dimensi sosial, ini menunjukkan bahwa ajaran agama kembali kepada manusia, untuk manusia, dan untuk semua makhlukNya.

Pun, dalam ibadah kurban di hari raya Idul Adha ini ada sisi sosial yang tidak hanya ritus penyembelihan hewan kurban belaka. Ibadah kurban sendiri merupakan refleksi dari agama dan kemanusiaan.

Disyariatkannya kurban dengan merujuk pada kisah Nabi Ibrahim, yang bersedia menuruti perintah Gusti Pengeran untuk mengorbankan anaknya sendiri, tapi kemudian Gusti Pengeran melarang mengorbankan manusia, walaupun di saat yang sama, manusia harus sadar bahwa tidak ada yang mustahil untuk Gusti Pengeran.

Dalam Islam, ibadah kurban mengandung dua dimensi. Pertama, dimensi spiritual-transendental sebagai konskuensi dari kepatuhan kepada Gusti Pengeran. Sehingga, melakukan “kurban” semestinya tidak hanya pada saat Idul Adha. Melainkan di setiap saat kita harus dapat mengurbankan apa yang kita miliki sebagai upaya taqarrub kita kepada Allah. Sifat demikian secara konkrit mempunyai dampak ketika berinteraksi dengan sesama makhluknya, yakni: terpenuhinya kesejahteraan sosial.

Dimensi kedua, dimensi sosial-humanis yang nampak dalam pola pendistribusian hewan kurban yang secara khusus diperuntukkan bagi mereka yang berhak. Namun, demensi ini akan bernilai manakala disertai dengan refleksi ketakwaan kepada Allah. Artinya, refleksi ketakwaan harus diejawantahkan dalam keseharian manusia sebagai manusia yang berinteraksi dengan semua makhluk, ya, dititik ini solidaritas sosial dg semua makhluk harus dijaga.

lni berarti pendistribusian daging kepada yang berhak mengandung makna dan nilai upaya pengentasan mereka ke dalam taraf hidup yang lebih baik, dan wujud kongkrit kepedulian kepada para fakir miskin sebagai solidaritas sosial. Oleh karena itu, pemaknaan ibadah kurban kiranya menjadi sangat perlu dikontekstualisasikan dalam rangka mencapai tujuan pensyariatan Islam yakni: tercapainya ketakwaan dan kemaslahatan dunia akhirat.

Dalam konteks organisasi, pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, dan selalu menjalankan organisasi dengan baik dan benar merupakan pengejawantahkan “kurban” itu sendiri. Berat memang, akan tetapi jika tidak dibentuk hari ini, kita akan memulai kapan.

Akhirnya, jangan sampai kita hanya terjebak dengan ritusĀ² peribadatan belaka tanpa memaknainya dalam sikap keseharian dengan semua makhluk-Nya. Ya, ritus ibadah yang kita lakukan mestinya mampu menjadi sebuah kebaikan yang kita bentuk dalam alam bawah sadar manusia agar laku peduli terhadap sesama terus dipupuk di hari-hari berikutnya.

Sudahkah sahabat berkurban? Ya, minimal berkurban perasaan itu sudah cukup kok. (Penulis: Abdullah Syafiq Muadz – Ketua PC GP Ansor Kab. Pati)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *