Giant Sea Wall (GSW) : Proyek Ambisius Pemerintah yang Berpotensi Merampas Makna Konservasi Lingkungan

Proyek Giant Sea Wall Jakarta (Sumber Foto. garuda.industry.co.id)
Proyek Giant Sea Wall Jakarta (Sumber Foto. garuda.industry.co.id)

JurnalIndo.Com – Banjir yang melanda sebagian besar wilayah Indonesia menjadi agenda tahunan yang tidak pernah terselesaikan. Tiap tahun bencana banjir tidak pernah absen dari wilayah Indonesia. Terutama ketika curah hujan ekstrem dengan intensitas tinggi dan durasi singkat, wilayah seperti Jakarta dan Pantura Jawa Tengah kewalahan untuk menampung air hujan yang turun sehingga menggenangi berbagai titik lokasi vital seperti permukiman, ruas jalan utama, dan kawasan perekonomian.

Seperti di Jakarta, pengendalian banjir menjadi agenda prioritas Pemprov DKI Jakarta. Hingga kini mulai dari strategi mengendalikan banjir dari pra banjir, saat banjir, dan hingga pasca banjir tertera dalam Rencana Pembangunan Daerah 2023-2026. Program tersebut yaitu pemeliharaan sarana prasana pengendali banjir, pengembangan sistem pemantauan banjir, peningkatan kapasitas sungai dengan pengerukan lumpur di sungai-sungai besar, multifungsi ruang terbuka hijau hingga optimalisasi sungai, waduk, embung dan saluran penghubung.

Kemudian di kawasan pesisir Jakarta yang rentan banjir rob lantaran topografinya yang cenderung di bawah permukaan laut, Pemprov DKI bersama Kementrian PUPR memaksimalkan keberadaan rumah pompa dan menggenjot proyek nasional tanggul pengaman pantai atau National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). Sama halnya dengan wilayah DKI Jakarta, pengendalian banjir di wilayah Pantura Jawa Tengah juga menjadi prioritas Pemprov Jawa Tengah. Mulai dari Brebes, Kendal, Semarang, Batang, Demak, Kudus, Jepara, Pati, dan Rembang banjir di hari hari pergantian tahun tidak pernah absen melanda.

Apalagi di daerah Demak, Kudus, Jepara, dan Pati yang dulunya dipisahkan oleh Selat Muria adalah perairan yang kemudian tersedimentasi menjadi dataran rendah, dengan elevasi saat ini 1-2 meter di atas permukaan laut sehingga menjadi area langganan banjir.Program pembangunan embung, bendungan, normalisasi sungai melalui pengerukan, pelebaran, pembuatan tanggul, dan kanal hingga penataan wilayah di sekitar sungai pun turut dilakukan. Terutama solusi mengantisipasi banjir rob yang meliputi rehabilitasi sungai, pembuatan tanggul, hingga penyediaan pompa banjir turut jadi prioritas Pemprov Jawa Tengah yang bersinergi dengan Kementrian PUPR.

Dalam permasalahan banjir di wilayah Jakarta dan Pantura Jawa Tengah terutama banjir rob, pemerintah sepertinya dituntut masyarakat untuk melakukan solusi penanganan yang lebih jelas dan sifatnya permanen. Salah satu solusi yang kembali mencuat dan menjadi perbincangan banyak kalangan yaitu pembangunan tanggul laut raksasa.

Meski di DKI Jakarta telah dijalankan proyek pembangunan tanggul laut National Capital Integrated Coastal Development atau NCICD Fase A dan di Jawa Tengah Tengah telah ada pembangunan Tol Tanggul LautĀ  Semarang Demak (TTLSD), sepertinya pemerintah ingin menjadikan pembangunan tanggul laut raksasa atau Giant Sea Wall sebagai agenda utama dalam pembangunan.

Wacana Pembangunan tanggul laut raksasa atau giant sea wall di Pantai Utara Pulau Jawa mengemuka kembali ke publik setelah Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, menyelenggarakan seminar nasional yang membahas percepatan pembangunan tanggul laut raksasa atau giant sea wall yang merupakan arahan dari Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto.

Dalam kesempatan itu, hadir sejumlah menteri kabinet Indonesia Maju, yakni Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan; Menteri KP Sakti Wahyu Trenggono; Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto; Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian; Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kemeterian Menteri PUPR, Bob Arthur Lombogia; serta pejabat yang mewakili Kemenko Marves, dan BRIN.

Menko Perekonomian berdalih, proyek tanggul laut raksasa atau giant sea wall mendesak dikebut lantaran kawasan Jawa Utara yang mencakup 5 wilayah pertumbuhan, 70 kawasan industri, 5 kawasan ekonomi khusus, dan 5 wilayah pusat pertumbuhan sering terganggu banjir rob. Proyek Giant Sea Wall sebenarnya tidak baru baru ini digagas.

Tahun 2008, seorang ahli Geodesi ITB, Dr Heri Andreas pernah menyampaaikan gagasan pembangunan tanggul laut raksasa untuk mengatasi banjir rob kepada Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo. Alternatif solusi yang disampaikan Dr Heri Andreas ditemani orang Belanda kepada Fauzi Bowo akhirnya memunculkan kebijakan The Jakarta Coastal Development Strategy, yang merupakan cikal bakal National Capital Integrated Coastal Development (Pembangunan Terpadu Pesisir Ibu Kota Negara). Dari situ kemudian muncul gagasan untuk membangun tanggul besar alias giant sea wall (GSW). Proyek tersebut masuk dalam Rencana Tata Ruang Wilayah DKI untuk 2010-2030. Tapi kemudian beberapa ahli kelautan dan pesisir, LSM, dan Kementerian Lingkungan Hidup menolak proyek tersebut.

Beberapa respon yang kontra tentang kebijakan pembangunan Giant Sea Wall karena resiko berbahaya yang akan ditimbulkan oleh proyek pemerintah ini. Ketika masih menjabat Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan meminta agar rencana pembangunan GWS dipertimbangkan ulang. Menurutnya, yang dibutuhkan Jakarta adalah pembangunan tanggul pantai, tapi kalau GWS merujuk kondisi di negara lain justru membuat air menjadi tidak bersih. Akan menjadi semacam kobokan. Respon kontra pun datang dari sesama ahli dari ITB.

Ahli oseanografi dari ITB, Moeslim Moein juga menyampaikan kekhawatiran serupa terkait pembangunan Giant Sea Wall di DKI Jakarta dulu. Menurutnya, pemerintah sekarang sedang melakukan kebohongan, baik soal banjir rob maupun penyediaan air bersih. Yang pertama bisa ditanggulangi dengan memperkuat tanggul di pantai, bukan membangun tanggul raksasa di laut alias giant sea wall. Pemerintah menurutnya juga keliru soal penyediaan air bersih karena solusi air bersih sebaiknya dari daerah hulu.

Menurut beliau, Pelabuhan Ikan Nusantara akan ditutup jika rencana ini diteruskan. Respon yang sama juga datang dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Walhi menyebut rencana pemerintah yang akan membangun kembali tanggul laut dengan cara mereklamasi laut adalah sesat pikir pembangunan. Proyek tersebut tidak akan menjawab akar persoalan kehancuran ekologis Pulau Jawa yang selama ini telah dieksploitasi untuk kepentingan industri ekstraktif baik di darat maupun di pesisir, laut, dan pulau kecil. Alasan penolakan Walhi pun beragam, mulai dari krisis perairan diĀ  utara jawa, menghancurkan ekonomi masyarakat di sektor perikanan, menghancurkan mangrove hingga memperparah krisis iklim, dan pastinya menggusur nelayan.

Dilihat dari awal tujuan pembangunan Giant Sea Wall yang digaungkan pemerintah yaitu mitigasi dampak banjir rob di kawasan jawa utara yang didalamnya ada 5 wilayah pertumbuhan, 70 kawasan industri, 5 kawasan ekonomi khusus, dan 5 wilayah pusat pertumbuhan. Kemudian pemerintah juga mengklaim bahwa proyek ini merupakan skenario mitigasi krisis iklim di pesisir utara Jawa.

Namun klaim pemerintah tersebut berbanding jauh dengan fakta yang ada di lapangan. Pembangunan Giant Sea Wall berpotensi merampas ruang hidup mangrove secara masif. Mangrove yang memainkan peran penting dalam mengatasi krisis iklim berpotensi dipercepat kehancuran ekosistemnya melalui proyek Giant Sea Wall di pesisir utara jawa ini.

Fakta tersebut diperkuat data WALHI yang menunjukan akibat beban industri yang sangat berat di pesisir utara Jawa Tengah, luasan mangrove terus mengalami penurunan. Pada tahun 2010, mangrove tercatat seluas 1.784.850 hektar. Tahun 2021, mengalami kehilangan yang sangat signifikan, di mana luasannya hanya tercatat 10.738,62 hektar. Begitu pula di pesisir Jakarta. Saat ini luasan mangrove tercatat tidak lebih dari 25 hektar. Padahal sebelum adanya proyek reklamasi, luasannya tercatat lebih dari seribu hektar.

Kehilangan mangrove ini menjadi ironis di tengah kampanye dan diplomasi pemerintah Indonesia yang gencar ke dunia internasional untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat mangrove dunia sebagai upaya dari mitigasi dan adaptasi krisis iklim. Lebih ironis lagi, di perhelatan COP28, Indonesia dipilih sebagai Ketua Bersama Aliansi Mangrove untuk Iklim atau Mangrove Alliance for Climate (MAC). Aliansi ini beranggotakan 34 negara yang dianggap berkomitmen pada restorasi dan konservasi mangrove.

Konservasi dan restorasi mangrove yang merupakan upaya penting dalam memitigasi dan beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim melalui penyerapan karbon, sambil mendukung keberlanjutan ekologis dan ekonomi wilayah pesisir. Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa mangrove mampu menyerap karbon sebesar 95-238 ton per hektar dalam biomassa di atas permukaan tanah, serta 235-654 ton per hektar dalam biomassa di bawah permukaan tanah. Proyek Giant Sea Wall merupakan solusi palsu krisis iklim karena bertentangan dengan upaya pemulihan ekosistem mangrove sebagai bagian penting dari upaya mitigasi dan adaptasi krisis iklim.

Wacana pembangunan Giant Sea Wall yang digaungkan pemerintah sebagai scenario mitigasi krisis iklim seakan kontradiktif dengan konservasi dan restorasi mangrove yang dianggap sebagai salah satu solusi berbasis alam (nature-based solutions) yang efektif dalam memerangi perubahan iklim. Pemerintah seakan lupa dengan arti konservasi lingkungan dengan mengabaikan valuasi sumber daya alam intangible seperti ekosistem mangrove dan lebih memilih pembangunan tanggul laut raksasa untuk melindungi 5 wilayah pertumbuhan, 70 kawasan industri, 5 kawasan ekonomi khusus, dan 5 wilayah pusat pertumbuhan di utara jawa.

Padahal sejatinya pembangunan tanggul laut raksasa akan mempercepat kebangkrutan sosial sekaligus kebangkrutan ekologis Pulau Jawa karena memperluas kehancuran dari daratan ke pesisir, laut, dan pulau kecil.

Penulis : Duta Arya

Sumber : Walhi.co.id

Editor : Jurnal/Mas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *