Sidang Putusan MK tentang Pemili Hanya di Hadiri 8 Hakim Mahkamah Konstitusi

JurnalIndo.com – Jakarta, 15/06 – Dari enam Sidang yang berlangsung hari ini, Kamis (15 Juni 2023), hanya dihadiri delapan hakim MK yang mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Salah satu putusan yang ditolak adalah uji materi UU Pilkada 7 Tahun 2017 yang diajukan pada 14 November 2022.

Gugatan bernomor urut 114/PPU/XX/2022 itu menggugat sejumlah ketentuan, di antaranya Pasal 168(2) yang mengatur sistem pemilu.

Baca Juga: Zulhas: Erick Thohir atau Prabowo, Tunggu Tanggal Mainnya!

Juru bicara MK Fajar Laksono mengatakan, ada delapan hakim MK yang terlibat dalam memproses putusan dalam enam kasus tersebut.

Salah satu hakim MK, Wahiduddin Adams, tidak hadir karena berada di luar negeri. 

“Hakim Wahiduddin sedang ada tugas MK ke luar negeri, berangkat tadi malam,” kata Fajar kepada wartawan, Kamis (15/6/2023).

Baca Juga: Rekrutmen KPPS Pemilu 2024, KPU Batasi Usia Maksimal

Fajar menjelaskan, proses pengumuman putusan masih bisa terjadi jika sembilan hakim tidak hadir.

Namun, sesuai aturan Mahkamah Konstitusi, semua hakim harus menyelesaikan sidang paripurna untuk mengambil keputusan. 

“Sidang pleno dihadiri oleh 9 hakim, dalam kondisi luar biasa dapat dihadiri 7 hakim,” ucap Fajar.

Baca Juga: Ulama NU Puji Erick Thohir Bantu Palestina Lewat Sepak Bola, Sesuai Konstitusi

Fajar melanjutkan, jika kurang dari tujuh hakim MK yang hadir, sidang pembacaan putusan baru akan dibatalkan.

Karenanya, ketidakhadiran Hakim Wahiduddin tidak akan mempengaruhi pengumuman hari ini. 

“Kurang dari 7 hakim, sidang pleno tidak dapat dilaksanakan,” terang Fajar.

Dengan gugatan itu, enam calon, yakni Demas Brian Wicaksono kader PDI Peru, kemudian Yuwono Pintadi anggota Partai Nasdem, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto dan Nono Marijono, meminta Mahkamah Konstitusi mengubah hasil pemilu.

sistem dari relatif terbuka ke relatif tertutup. Terkait Pasal 168, Ayat 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, 

“Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka”.

Pemohon mengklaim bahwa sistem perwakilan proporsional terbuka tidak konstitusional. Sebab, Pasal 18(3) dan Pasal 19 UUD 1945 menyatakan bahwa anggota DPR dan DPRD dipilih dalam pemilihan yang pesertanya adalah partai.

Kandidat menilai peran partai politik telah terdistorsi dan terpinggirkan oleh sistem pemilu terbuka. Pasalnya, calon anggota parlemen terpilih memperoleh suara terbanyak, yang tidak ditentukan oleh partai politik.

Calon yang ingin mencalonkan diri di parlemen dalam pemilu juga merasa dirugikan dengan sistem perwakilan proporsional terbuka. Sistem tersebut mungkin menciptakan persaingan tidak sehat yang berfokus pada popularitas dan kekuatan finansial calon anggota parlemen. 

“Sehingga, kader partai yang memiliki pengalaman berpartai dan berkualitas kalah bersaing dengan calon yang hanya bermodal uang dan popularitas semata,” demikian argumen para pemohon dikutip dari dokumen permohonan uji materi.

“Apabila sistem proporsional tertutup diterapkan, maka kader-kader yang sudah berpengalaman di kepartaian memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi anggota DPR dan DPRD meskipun tidak memiliki kekuatan modal dan popularitas,” lanjut pemohon.(*)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *