Jurnalindo.com, – Mahkamah Konstitusi (MK) memasuki tahap krusial dalam penyelesaian sengketa hasil pemilihan presiden (Pilpres) yang telah memunculkan banyak spekulasi dan antisipasi. Delapan Majelis Hakim Konstitusi tengah menjalani Rapat Pemusyarawatan Hakim (RPH) sejak 6 April hingga 21 April 2024, menjelang pembacaan putusan pada Senin, 22 April 2024.
Putusan yang akan diumumkan pada hari tersebut akan menentukan arah hasil Pilpres, apakah permohonan pemungutan suara ulang dan diskualifikasi calon presiden serta calon wakil presiden (capres-cawapres) nomor urut 2 akan dikabulkan atau tidak. Namun, perhatian tertuju pada apa yang akan terjadi jika komposisi hakim yang menolak dan mengabulkan permohonan tersebut seimbang.
Menurut juru bicara MK, Fajar Laksono, Undang-Undang MK telah mengatur berbagai kemungkinan terkait hasil putusan. Salah satunya adalah melalui musyawarah mufakat antara delapan Hakim Konstitusi, di mana jika hal ini tidak tercapai, rapat putusan akan dihentikan untuk sementara waktu.
Jika penundaan tidak menghasilkan kesepakatan, rapat putusan akan dilanjutkan, dan suara terbanyak akan menentukan keputusan. Meskipun suara terbanyak bisa saja dalam komposisi lima banding tiga, enam banding dua, atau tujuh banding satu, namun hal ini tidak selalu terjadi.
Dalam situasi di mana suara terbanyak tidak tercapai, Undang-Undang MK menetapkan bahwa keputusan akan ditentukan berdasarkan suara ketua sidang pleno. Ini memastikan bahwa tidak akan ada kebuntuan dalam pengambilan keputusan di lembaga pengadilan tersebut.
Ini menegaskan bahwa MK memperlakukan setiap kasus dengan cermat dan mengutamakan keadilan, serta memastikan bahwa proses hukum berjalan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, harapan masyarakat akan keterbukaan dan transparansi dalam penyelesaian sengketa Pilpres 2024 di MK tetap terjaga. (Kompas/Nada)