Opini  

Kisah Kurban dan Bantahan Terhadap Paganisme

jurnalindo.com – Pengurbanan manusia merupakan hal lazim di dunia Pagan. Kejam namun logis dan rasional dalam mentalite mereka. Paganisme meyakini bahwa anak pertama adalah keturunan dewa, yang telah menyetubuhi si ibu melalui tindakan nir-biologis.

Orang pagan menafsirkan hubungan bersetubuh ini dalam penjelasan yang cukup rigid; ‘droit de seigneur’. Antropolog mendefinisikan ini semacam hubungan supra-metafisika. Rumit, tapi bisa mungkin sangat masuk akal bagi para pengkaji teologi.

Dogma paganisme sebenarnya banyak kita jumpai dalam beberapa kajian antropologis sosio-kultur nusantara. Salah satunya, mitologi bahwa Gajah Maja adalah anak Dewa Brahma, yang secara tak kasat mata “menyetubuhi” ibunya, Nari Ratih.

Selanjutnya, paganisme beranggapan bahwa dalam memperanakkan, energi dewa menjadi menipis, maka untuk mengisinya kembali dan mempertahankan sirkulasi seluruh ‘mana’ (energi) yang ada, anak pertama itu harus dikembalikan kepada orang tua dewatanya. Dia harus dipersembahkan melalui sebuah pengurbanan; disembelih.

Yang menjadi aneh mungkin, belum ada buah penemuan yang mengisahkan pengurbanan seorang pimpinan Pagan yang rela mengurbankan anak kandung sendiri. Yang ada, mereka lebih sering mengurbankan kawula dan rakyat jelatanya sebagai martir. Sebuah bentuk pengingkaran terhadap ritual teologis yang mereka anut.

Berbeda dengan kisah Ibrahim. Ibrahim pun sebagai seorang utusan Tuhan menghadapi amar risalah yang juga sama; yaitu menyembelih putra pertamanya, sebagai pengejawantahan atas pengurbanannya kepada Tuhan.

Beliau Ibrahim, hamba Tuhan yang keimanannya telah melampaui segala nalar logika dan rasionalitas. Jika kebanyakan hamba cenderung mendefinisikan iman sebagai penegasan akal terhadap sebuah kredo, Ibrahim adalah antitesa terhadap pengertian itu.

Dia percaya penuh bahwa Tuhan akan menepati janjinya, sekalipun janji itu tampak tak masuk akal. Bagaimana mungkin Ibrahim dijanjikan menjadi bapak sebuah bangsa yang besar, jika diperintahkan untuk menyembelih putra tunggalnya?

Ibrahim telah memutuskan untuk melimpahkan segala ceruk altruistiknya, jiwa pasrahnya kepada Tuhannya. Sekalipun pengurbanan itu akan melenyapkan arti seluruh kehidupan Ibrahim.

Ibrahim telah memutuskan untuk sepenuhnya percaya. Dia dan putranya, Ismail, melakukan perjalanan panjang ke bukit Mina. Ismail, yang belum tahu apa-apa tentang titah ilahi, bahkan harus memikul kayu bakaran untuk pengurbanan dirinya sendiri.

Baru pada saat-saat terakhir, ketika Ibrahim benar-benar telah siap dengan sebilah pisau di tangannya, turun firman Tuhan bahwa hal itu hanya sebuah ujian. Ibrahim telah membuktikan dirinya layak menjadi bapak sebuah bangsa yang besar, yang jumlahnya akan sebanyak taburan bintang di langit dan hamparan pasir di pantai.

Melalui kisah Ibrahim ini, maka kurban dalam konsepsi Paganisme sekaligus terbantahkan. Bahwa Tuhan tidak butuh dagingmu, Tuhan lebih menimbang ketakwaanmu. Wallahu a’lam.

(Penulis: Muammar Elba/Sekretaris PC GP Ansor Pati)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *