Krisis Kepercayaan Publik Terhadap Mahkamah Konstitusi, Analisis Putusan Batas Usia Capres-cawapres

Kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan, termasuk Mahkamah Konstitusi (MK), adalah hal yang sangat penting dalam menjaga kredibilitas (Sumber foto : Sekertariat Kabinet )
Kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan, termasuk Mahkamah Konstitusi (MK), adalah hal yang sangat penting dalam menjaga kredibilitas (Sumber foto : Sekertariat Kabinet )

Jurnalindo.com, – Kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan, termasuk Mahkamah Konstitusi (MK), adalah hal yang sangat penting dalam menjaga kredibilitas dan keberlanjutan sistem hukum suatu negara. Namun, baru-baru ini, MK menjadi sorotan tajam publik Indonesia setelah mengeluarkan putusan terkait batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, mengungkapkan keprihatinannya terhadap situasi ini. Ia menilai bahwa kepercayaan publik terhadap MK telah rusak sebagai akibat dari putusan terkait batas usia capres-cawapres ini.

Isnur berpendapat bahwa krisis konstitusi ini tidak hanya akibat kesalahan MK, tetapi juga ada peran yang dimainkan oleh Presiden Joko Widodo. Presiden Jokowi diyakini telah melakukan tindakan yang melanggar konstitusi, terutama terkait dengan dukungannya terhadap anaknya.

Kekecewaan masyarakat terhadap putusan MK (Nomor 90/PUU-XXI/2023) telah menjadi sorotan utama, dan menurut Isnur, kekecewaan ini harus diatasi. Ia menganggap bahwa putusan sebelumnya mengandung kecacatan, baik dalam prosedur maupun substansi, dan oleh karena itu, MK perlu merevisi putusannya.

Dalam situasi di mana kepercayaan publik telah rusak, penting bagi Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) untuk mengambil langkah yang tegas dan objektif. MKMK harus memberikan putusan etik yang mendasarkan pada fakta-fakta yang ada dan menjaga integritas lembaga tersebut.

Dalam analisisnya, Direktur Isu Strategis Pusat Studi Hukum Konstitusi dan Pemerintahan (Pushan), Jimmy Z Usfunan, menyoroti cacat prosedur dan substansi dalam putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Menurutnya, permohonan tersebut seharusnya telah dicabut oleh pihak yang mengajukannya, dan fakta bahwa berkas permohonan tidak ditandatangani adalah cacat prosedur.

Selain itu, ada konflik kepentingan yang timbul antara Ketua MK dan objek permohonan, terkait dengan kontestasi pemilu yang akan diikuti oleh Gibran, yang juga merupakan keponakan dari Ketua MK. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman mengharuskan seorang hakim yang memiliki kepentingan dengan perkara yang diperiksa untuk mundur, dan putusannya akan dinyatakan tidak sah.

Dalam konteks ini, harapan publik sangat bergantung pada putusan etik dari MKMK. Jika putusan etik mengakui cacat prosedur dan substansi dalam penanganan perkara ini, dan memberlakukan sanksi etik terhadap hakim yang melanggar, maka perkara ini bisa dibuka kembali sesuai dengan undang-undang kekuasaan kehakiman.

Dalam situasi ini, penting bagi MKMK untuk berani mengambil tindakan tegas, termasuk memecat hakim yang terlibat dalam konflik kepentingan. Hanya dengan langkah-langkah tegas seperti ini, MK dan MKMK dapat memulihkan kepercayaan publik dan menjaga integritas sistem peradilan konstitusi Indonesia. Kepercayaan publik adalah pondasi penting bagi lembaga peradilan, dan langkah-langkah yang diambil selanjutnya akan menentukan masa depan MK. (Jpnn/Nada)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *