Jurnalindo.com, – Selama satu dekade kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), ekonomi Indonesia mengalami berbagai dinamika. Ambisi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 7 persen menghadapi kenyataan bahwa selama sebagian besar masa kepemimpinannya, realisasi pertumbuhan ekonomi hanya berkisar di angka 5 persen.
Tantangan Awal dan Fokus Infrastruktur
Ketika Jokowi mulai menjabat pada 2014, Indonesia menghadapi tantangan signifikan akibat kondisi ekonomi global yang melambat. Turunnya harga komoditas dan perlambatan ekonomi di China, salah satu mitra dagang utama, menjadi faktor yang memengaruhi kinerja ekonomi Indonesia. Di tengah tantangan tersebut, Jokowi memperkenalkan program Nawacita, yang berfokus pada pembangunan infrastruktur besar-besaran sebagai langkah untuk meningkatkan daya saing dan merangsang pertumbuhan ekonomi.
Pada tahun pertamanya, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat hanya 5,02 persen. Dengan fokus pada infrastruktur, Jokowi berharap dapat memperbaiki daya saing Indonesia di kancah global. Namun, tahun berikutnya, pertumbuhan ekonomi kembali merosot menjadi 4,79 persen, dipicu oleh pelemahan ekonomi global dan dampak rendahnya harga komoditas.
Pemulihan dan Pertumbuhan Bertahap
Di tahun-tahun berikutnya, Indonesia mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Pada 2016, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,02 persen, kemudian meningkat menjadi 5,07 persen di 2017, dan melesat ke angka 5,17 persen pada 2018. Di akhir masa kepemimpinan Jokowi-Jusuf Kalla, dan awal kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf Amin, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,2 persen pada 2019.
Namun, tahun 2020 menjadi tantangan terbesar bagi perekonomian Indonesia dengan hadirnya pandemi COVID-19. Pembatasan sosial dan penutupan bisnis untuk mencegah penyebaran virus menyebabkan kontraksi ekonomi yang signifikan, dengan pertumbuhan ekonomi tercatat minus 2,07 persen. Meskipun mengalami pemulihan pada 2021 dengan pertumbuhan 3,69 persen, tantangan bagi perekonomian Indonesia belum sepenuhnya teratasi.
Pemulihan Pasca-Pandemi dan Tantangan ke Depan
Pada 2022, ekonomi Indonesia tumbuh 5,31 persen, tetapi pada 2023, pertumbuhan melambat menjadi 5,05 persen. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan target APBN 2023 yang sebesar 5,3 persen, serta pertumbuhan 2022 yang mencapai 5,31 persen.
Menghadapi akhir masa kepemimpinan, Jokowi menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,2 persen dalam APBN 2024. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada kuartal I 2024, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,11 persen, sementara pada kuartal II melambat menjadi 5,05 persen. Menteri Keuangan periode 2013-2014, Chatib Basri, memproyeksi perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2024, namun memastikan bahwa Indonesia tidak berada dalam ancaman resesi.
Chatib menjelaskan, meskipun pertumbuhan ekonomi diproyeksikan lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, kondisi likuiditas harus dijaga untuk mendorong konsumsi domestik. Penurunan harga komoditas menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dalam meningkatkan pendapatan negara.
Perjalanan ekonomi Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi menunjukkan gambaran yang kompleks. Meskipun memiliki ambisi besar untuk pertumbuhan ekonomi, realitas yang dihadapi sering kali tidak sesuai harapan. Dari tantangan global, dampak pandemi, hingga penyesuaian kebijakan domestik, semua faktor ini berkontribusi terhadap dinamika ekonomi yang dialami Indonesia. Ke depan, fokus pada perekonomian domestik dan pengelolaan likuiditas menjadi kunci untuk menjaga pertumbuhan dan stabilitas ekonomi. (Kumparan/Nada)