Jurnalindo.com, – Kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto mulai menghadirkan wacana mengenai kemungkinan Indonesia bergabung dengan kelompok ekonomi BRICS. Meskipun belum ada keputusan resmi, Prabowo telah menunjukkan kecenderungan terhadap semangat BRICS yang bersifat antagonistik terhadap tatanan ekonomi global yang didominasi oleh Eropa dan Amerika Serikat.
BRICS, yang awalnya terdiri dari Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan, pertama kali mengadakan KTT di Yekaterinburg pada 2009. Sejak saat itu, kelompok ini berkembang menjadi blok geopolitik yang signifikan, terutama dengan bergabungnya Iran, Mesir, Ethiopia, dan Uni Emirat Arab pada 1 Januari 2024. Meskipun Arab Saudi belum resmi bergabung, negara tersebut aktif berpartisipasi dalam kegiatan BRICS. Indonesia, di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, juga pernah mempertimbangkan keanggotaan dalam forum ini.
Sebelumnya, BRICS dikenal sebagai wadah untuk mengeksplorasi peluang ekonomi. Namun, situasi global yang terus berubah membuatnya bertransformasi menjadi kekuatan geopolitik yang lebih besar. KTT tahun lalu di Afrika Selatan, yang dihadiri oleh Presiden Jokowi, menekankan pentingnya solidaritas antara negara-negara Global South, mengingat gabungan negara-negara BRICS kini mencakup sekitar 30 persen dari ekonomi dunia dan 45 persen populasi global.
Di sisi lain, BRICS menjadi pesaing geopolitik utama bagi blok G7 yang terdiri dari negara-negara maju. Salah satu prinsip utama BRICS adalah nonintervensi dan penghormatan terhadap kedaulatan politik anggotanya, berlawanan dengan pendekatan blok lain seperti Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Bergabung dengan OECD membawa syarat sulit bagi Indonesia, yaitu normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel, yang menimbulkan polemik di kalangan pemerintah dan masyarakat.
Dalam konteks ini, pidato Prabowo mengenai kondisi geopolitik semakin relevan. Ia menyoroti ilusi ketergantungan Indonesia terhadap negara-negara maju dan mengingatkan bahwa kemiskinan di Indonesia masih menjadi masalah besar. Selain itu, Prabowo menegaskan pentingnya netralitas Indonesia dalam blok-blok militer dan memilih jalan bebas aktif, menciptakan hubungan baik dengan semua negara.
Pernyataan Prabowo juga mencerminkan kritik terhadap standar ganda yang diterapkan negara-negara Barat, terutama dalam kebijakan perdagangan. Ia menyoroti larangan Uni Eropa terhadap impor minyak sawit dari Indonesia sebagai contoh ketidakadilan yang dirasakan negara-negara berkembang. Dalam konteks ini, Prabowo menekankan bahwa Eropa harus lebih menghargai negara-negara seperti Indonesia yang memiliki potensi ekonomi besar.
Indonesia saat ini masih mempertimbangkan keanggotaan dalam BRICS, dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa pemerintah akan menghadiri KTT BRICS di Kazan, Rusia, pada 22-24 Oktober 2024. Kehadiran Menteri Luar Negeri Sugiono dalam acara tersebut diharapkan dapat memperkuat posisi Indonesia dalam percaturan geopolitik global.
Dengan berbagai pertimbangan ini, langkah Indonesia untuk bergabung dengan BRICS menjadi isu yang menarik untuk diikuti, terutama dalam konteks perubahan dinamika politik dan ekonomi dunia yang semakin kompleks. (Replublika/Nada)