jurnalindo.com – Di Amerika Serikat (AS) sebanyak delapan negara bagian termasuk Massachussets dan California mengumumkan bahwa mereka berkolaborasi untuk melakukan penyelidikan terkait dampak yang di timbulkan tiktok pada generasi muda terhadap kesehatan fisik ataupun kesehatan secara mental mental.
Penyelidikan itu disebut juga akan menilai nantinya bahwa adakah andil perusahaan dalam menimbulkan dampak kurang baik terhadap generasi muda.
“Penyelidikan berfokus, antara lain, pada metode dan teknik yang digunakan oleh TikTok untuk meningkatkan keterlibatan pengguna muda, termasuk meningkatkan durasi waktu yang dihabiskan di platform dan frekuensi keterlibatan dengan platform,” kata Jaksa Agung Massachusetts Maura Healey dalam pernyataannya seperti dilansir dari Reuters, Kamis.
Anak usaha milik ByteDance itu sebelumnya pernah mengeluarkan pernyataan bahwa perusahaannya akan berfokus pada keselamatan pengguna yang lebih muda dan membatasi fitur- fitur layanannya berdasarkan usia.
Dalam laporan yang dikeluarkan oleh We Are Social pada 2022, TikTok telah menjadi aplikasi yang masuk dalam lima teratas pengguna paling banyak secara global dan juga menjadi aplikasi yang menempati urutan pertama untuk aplikasi yang paling banyak diunduh.
Kemudian riset yang dilakukan Omnicore pada 2021 menunjukkan 50 persen pengguna TikTok tergolong dalam kategori usia 34 tahun ke bawah, dengan 32,5 persennya berasal dari usia 10-19 tahun.
Dengan kondisi tersebut maka tidak heran pembatasan fitur berdasarkan usia diperlukan TikTok untuk membuat aplikasinya tetap aman digunakan.
“Kami berharap dapat memberikan informasi tentang banyak perlindungan keamanan dan privasi yang kami miliki untuk remaja,” kata TikTok.
TikTok juga pada awal Februari menyebutkan tengah mengerjakan standar penilaian untuk membatasi konten berdasarkan usia sehingga konten dewasa tidak akan bisa dijangkau oleh para remaja dari layanannya.
Selain TikTok, AS juga sebelumnya telah membuka penyelidikan terhadap Meta Platforms Inc, mengenai anak perusahaannya Instagram, yang juga mendapat pengawasan ketat atas potensi dampak layanan mereka terhadap kesehatan mental dan keamanan daring pengguna muda.
Penyelidikan dipimpin oleh koalisi bipartisan dari jaksa agung dari California, Florida, Kentucky, Massachusetts, Nebraska, New Jersey, Tennessee, dan Vermont.
Pucuk pimpinan AS yaitu Presiden Joe Biden sempat membahas masalah kerusakan media sosial dalam pidato kenegaraannya di depan kongres pada Selasa (1/3), mencatat bahwa masalah anak-anak sebelum pandemi adalah berjuang untuk eksis di aplikasi media sosial.
“Kita harus meminta pertanggungjawaban platform media sosial atas eksperimen nasional yang mereka lakukan pada anak-anak kita untuk mendapatkan keuntungan,” katanya dalam menyerukan perlindungan privasi yang lebih kuat untuk anak-anak dan larangan iklan dengan target anak muda.