Penulis ; Moh. Fuad Hasan, S. Kom. I., M. Ikom.
Jurnalindo.com, – “Fiqih tidak seharusnya dipahami dalam dimensi formal-legal semata, tetapi harus dibarengi dimensi etika, agar pengembangannya benar-benar sejalan dengan fungsinya.”
KH. MA Sahal Mahfudh
Pernyataan KH. MA Sahal Mahfudh di atas bukan sekadar pesan keagamaan, melainkan juga panggilan moral yang relevan di tengah arus pemahaman keislaman yang sering kali terjebak pada aspek legal-formal. Fiqih, dalam pandangan beliau, tidak hanya mengatur yang halal dan haram secara kaku, tetapi juga harus menyentuh sisi-sisi kemanusiaan dan keadilan sosial. Di sinilah pentingnya mengembalikan ruh fiqih sebagai etika sosial yang hidup dan membumi.
KH Sahal tidak menafikan pentingnya kerangka hukum dalam Islam. Namun, ia menekankan bahwa hukum yang terlepas dari nilai-nilai seperti kasih sayang, empati, dan kepedulian sosial akan kehilangan daya ubahnya. Fiqih, kata beliau, harus menjadi alat transformasi sosial, bukan sekadar instrumen normatif. Maka tak heran jika konsep fiqih sosial yang beliau gagas menjadi salah satu kontribusi penting dalam khazanah pemikiran Islam kontemporer Indonesia.
Lebih jauh, beliau menautkan fiqih dengan maqashid al-syari’ah—tujuan-tujuan dasar syariat Islam—yang mencakup perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Pendekatan ini bukan hanya berorientasi pada teks (bayani), tetapi juga merangkul nalar (burhani) dan rasa spiritual (irfani). Dengan cara itu, fiqih tak hanya sah menurut hukum, tapi juga adil menurut nurani dan kontekstual dalam praktik sosial.
Konsep fiqih sosial ini telah mendapat ruang praksis, antara lain dalam gerakan keagamaan yang berorientasi pada pemberdayaan umat. NU dan Muhammadiyah, misalnya, tidak lagi membatasi dakwah pada ceramah keagamaan, tetapi meluaskannya ke ranah advokasi, ekonomi umat, perlindungan buruh migran, hingga pendidikan inklusif. Ini menandai arah baru peran agama dalam merespons dinamika zaman.
Namun jalan menuju fiqih sosial tidak selalu mulus. Masih banyak tantangan dari pemahaman keislaman yang konservatif, yang lebih menekankan kepatuhan tekstual ketimbang keberpihakan sosial. Di sinilah relevansi pemikiran KH Sahal Mahfudh semakin terasa. Ia mengingatkan bahwa ulama tak cukup menjadi penjaga kitab, tetapi juga harus hadir di tengah umat sebagai pembimbing menuju kehidupan yang lebih adil dan bermartabat.
Fiqih yang etis, solutif, dan transformatif sebagaimana dicita-citakan KH Sahal bukan hanya idealisme normatif. Ia adalah keniscayaan jika kita ingin menjadikan agama sebagai rahmat, bukan sekadar peraturan. Di tengah ketimpangan sosial dan kemanusiaan hari ini, fiqih sosial adalah jalan tengah yang menggabungkan syariat, moralitas, dan realitas.
Bodynote:
Tulisan ini merujuk pada gagasan-gagasan KH. MA Sahal Mahfudh sebagaimana tertuang dalam bukunya Nuansa Fiqih Sosial (LKiS, 1994) dan berbagai ceramah beliau dalam forum-forum Nahdlatul Ulama serta Munas-Alim Ulama. Pendekatan bayani, burhani, dan irfani merupakan metodologi yang dikembangkan oleh beliau dalam kerangka pembaruan pemikiran Islam yang kontekstual. Pemikiran ini relevan dengan pendekatan maqashid al-syari’ah sebagaimana dipopulerkan oleh Imam Al-Syatibi dan diperluas dalam wacana keislaman kontemporer oleh ulama-ulama progresif Indonesia. (Jurnalindo.com)