Jurnalindo.com, – Batam tengah menjadi perbincangan hangat di media sosial setelah munculnya persyaratan kontroversial bagi para pencari kerja. Para pelamar perempuan diwajibkan memiliki tinggi badan minimal 155 cm agar bisa lolos seleksi. Hal ini mengundang berbagai reaksi dari warganet yang menganggap persyaratan tersebut kurang relevan.
Melalui unggahan akun TikTok @itskakwil pada Kamis (16/5/2024), terlihat ribuan pelamar pekerjaan diukur satu per satu untuk memenuhi syarat tinggi badan. Dalam video yang beredar, ribuan pelamar pekerjaan, mayoritas perempuan, berkumpul di sebuah pendopo dengan mengenakan pakaian rapi, menunggu giliran untuk mengikuti tes pengukuran tinggi badan.
Pengunggah video tersebut menjelaskan bahwa ribuan pelamar itu hendak melamar di sebuah pabrik di daerah Batam. Dalam tes tersebut, setiap pelamar harus melewati sebuah palang besi yang telah diatur ukurannya. Jika tinggi badan tidak sesuai dengan syarat yang diajukan, maka pelamar dinyatakan tidak lolos.
“POV: kalau kerja di Batam minimal 155 deck,” tulis akun tersebut.
Syarat tinggi badan minimal 155 cm ini pun ramai menuai sorotan warganet, banyak yang mempertanyakan relevansi dan keadilan dari persyaratan tersebut. Beberapa komentar dari warganet antara lain:
- “@Bor La: Dikarenakan kebanyakan PT kerja nya berdiri,”
- “@SIHOMBING16: di dunia kerja yang dibutuhkan tenaga dan skill bukan adu tinggi badan, yang penting bisa kerja, tidak peduli tingginya berapa, percuma tinggi kalau tidak ada niat kerja,”
- “@Im Lee Yhaa: tapi Batam teman gua 150-an masuk, kalau 155 ya mending Cikarang,”
- “@revnaldi prastiya: emang itu mau kerja apa sampai ada minimal tinggi,”
- “@rins.: HRD Jerman aja sampai kaget sama kriteria masuk kerja di Indonesia,”
Kisah Pilu Pencari Kerja di Batam
Di tengah hebohnya syarat tinggi badan ini, kisah perjuangan pencari kerja di Batam juga menjadi perhatian. Salah satu cerita datang dari Putra, seorang pencari kerja asal Sumatera Utara, Balige. Putra mengaku kesulitan mendapatkan pekerjaan di Batam meski sudah berbulan-bulan mencari.
“Sudah 5 bulan di Batam dan sudah ada 12 lamaran yang saya masukkan, namun tak kunjung dipanggil,” ucap Putra pada Kamis (16/5).
Lima bulan mencari kerja di Batam bukanlah waktu yang singkat bagi Putra. Selama itu, ia harus membayar uang kost, biaya makan, dan berbagai pengeluaran lainnya. Uang kiriman dari orang tua di kampung pun sudah hampir habis.
“Coba bayangkan, saya sudah kirim 8 lamaran via pos, 4 lamaran saya antar langsung ke PT, sekali kirim Rp.15.000. Ditambah lagi harus datang ke Community Center (CC) Batamindo untuk mencari lowongan kerja, ongkos angkot dan makan siang menjadi pengeluaran,” cerita Putra sembari duduk bersantai di lesehan Community Center.
Putra, yang lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA), memutuskan untuk merantau ke Batam demi membantu perekonomian keluarganya. Dengan harapan memperoleh pendapatan yang lebih baik dan belajar hidup mandiri, Putra meninggalkan kampung halamannya untuk mencari peruntungan di kota industri ini.
Mendatangi CC Batamindo juga menjadi cara Putra untuk bertemu teman baru dan bertukar informasi tentang lowongan pekerjaan antar sesama pencari kerja. Namun, hingga kini, perjalanannya mencari pekerjaan masih menemui banyak hambatan.
Kisah Putra dan ribuan pencari kerja lainnya di Batam menunjukkan betapa beratnya perjuangan mencari pekerjaan, apalagi dengan persyaratan yang dinilai kurang relevan seperti tinggi badan minimal 155 cm. Polemik ini membuka mata banyak pihak akan pentingnya meninjau ulang persyaratan kerja agar lebih adil dan relevan dengan kebutuhan tenaga kerja sebenarnya. (Sumber; Sripoku/Nada)