Lewat Sinema, Wanita dan Kekuatan Mampu Hidupkan Cerita

 

Jurnalindo.com – Jakarta, 12/12 – Saat itu tahun 2000. Ketika anak-anak sekolah dasar tampak berlomba memamerkan simpanan cokelat warna-warni dan plester dari siku hingga kening yang tak kalah menyilaukan mata. Sepertinya semua gadis saat itu ingin menjadi gadis cilik pemberani seperti dalam “Petualangan Sherina” (2000).

Setiap dekade, setiap era, ada pemeran karakter dari layar lebar atau kecil yang memberdayakan penonton. Ada karakter Saleha (Rima Melati) dari Intan Berduri (1972), Asih (Christine Hakim) dari film Daun diatas Bantal (1998), Marlina (Marsha Timothy) dari Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (2017), hingga pahlawan super wanita Alana (Pevita Pearce) dalam film “Sri Asih” (2022).

Semuanya seolah membentuk tren dan kepercayaan diri bagi pemirsa wanita Tanah Air dari tahun ke tahun. Bahwa perempuan bisa jadi tangguh namun tetap memiliki sisi lembut karena menghadapi masalah dan hambatan yang tak ada habisnya untuk dibicarakan.

Bagi Mikha Tambayong (“Teluh Darah,” “Critical Eleven”), berakting berarti dia belajar menjadi manusia — untuk melihat dunia dari perspektif yang berbeda.

“Aku merasakan bahwa ini adalah privilege yang tidak bisa aku dapatkan di tempat lain. Aku bisa menjadi orang lain, memengaruhi cara aku berpikir, memiliki lebih banyak empati dan kepekaan,” pengakuan Mikha saat ditemui penulis.

Tentu saja, sangat bagus memiliki pahlawan untuk diidolakan, apalagi karakter tersebut adalah karakter utama dalam sebuah film. Tak hanya menghibur, ia juga menginspirasi banyak remaja putri di berbagai tempat untuk terlibat dan membuat film dengan pesan serupa.

Film itu sendiri adalah sesuatu yang bisa dirasakan, bisa direkam. Film bisa menyentuh hati seseorang, menangkap emosi, membuka wawasan dari berbagai sudut pandang.

Baca Juga: Inilah debut taylor swift di film

Di sisi lain, film juga merupakan media visual. Namun, wanita dan pria mengalami dunia mereka secara visual dengan cara yang unik dan berbeda.

Para sineas perempuan di berbagai belahan dunia tampak bersatu dan tak segan-segan mengeksplorasi pentingnya feminitas dalam cerita mereka dan menggunakan feminitas itu untuk berbagi pengalaman mereka di dunia dengan segudang persoalan yang kompleks.

Tidak diragukan lagi, para sineas perempuan dari seluruh dunia, termasuk Indonesia, memiliki talenta untuk menyajikan kisah-kisah tersebut. Namun, yang membuat karyanya begitu mengharukan dan segar bukanlah bakatnya atau cara berceritanya. Sebaliknya, itu adalah cara mereka bercerita.

Sebagian besar film karya sutradara wanita mengandalkan kata “suka” – bagaimana film tersebut terasa dekat dengan penonton, bagaimana perasaan penonton sesaat setelah kredit bergulir, bagaimana cerita disampaikan dan diselesaikan dari sudut pandang masing-masing individu dan diskusi di luar hati.

Dalam “Noktah Merah Perkawinan” (2022), misalnya. Sutradara Sabrina Rochelle Kalangie menghadirkan reimaginasi sinetron tahun 90-an ini dengan dialog dan penceritaan yang sederhana namun indah, membuat penontonnya tenggelam dalam pikiran dan keputusan para karakter di dalamnya.

Juga dalam “Like & Share” (2022) karya Gina S. Noer. Gina dan subjek perempuan tidak asing dengan filmografinya.

Apa yang mungkin membuat film ini sulit untuk “dinikmati” oleh penonton bukanlah karena adegan pemerkosaan yang eksplisit, tetapi karena diambil dari sudut pandang korban.

Ini kembali ke poin “bagaimana” – bagaimana para sineas ini bekerja menghadirkan cerita dari sudut yang dekat dengan mereka, mengajak dunia untuk melihat dan merasakan semuanya – ketulusan mereka dalam membuat film, kemarahan mereka terhadap sesuatu, hingga keinginannya. untuk berbicara bagi mereka yang tidak bisa berteriak.

Sayangnya, banyaknya cerita yang ingin disampaikan belum dibarengi dengan bakat para wanita di belakang layar. Menurut data dari buku “Menuju Kesetaraan Gender dalam Film Indonesia: Analisis Data Terpilah Gender dan Rekomendasi Rencana Aksi” (2021) yang diterbitkan oleh Asosiasi Pengkaji Film Indonesia (KAFEIN), masih terdapat ketimpangan representasi Perempuan dalam Perfilman Indonesia.

Misalnya untuk peran sutradara. Jumlah sutradara wanita di industri perfilman Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2012 dengan jumlah 22 orang.Jumlah ini tidak mencapai 20 persen dari 132 sutradara pria pada tahun 1977.

Meskipun jumlahnya terus meningkat setelah tahun 2000, jumlah direktur wanita pada dekade 2000-2009 hanya 19 persen dari total.

Baca Juga: Kristen Stewart jadi presiden juri Festival Film ini

Jumlah direktur perempuan meningkat menjadi 124 pada periode 2010-2020. Pada dekade yang sama, jumlah direktur pria mencapai 996, lebih dari dua kali lipat dibandingkan dekade 2000-2009.

Namun, menurut sutradara Kimo Stamboel, sudah banyak talenta perempuan di industri perfilman. Bahkan, mereka bekerja di bidang yang dianggap “laki-laki” seperti sound engineering, kamera dan lain-lain. Bahkan, Kimo mengakui bahwa seluruh tim produksinya terdiri dari wanita, dan mereka adalah orang-orang yang kuat dan mengagumkan.

Padahal, berbicara tentang kesetaraan adalah hal yang rumit. Jika kita ingin berada di jalur kesetaraan, pembuat film perempuan tidak boleh menjadi “pertunjukan keberanian” hanya karena mereka perempuan dalam industri yang didominasi laki-laki.

Saat kita bergerak menuju kesetaraan, penting juga untuk merangkul nilai feminitas dalam film – yang sering dianggap “lemah” dan “rapuh” di dunia yang begitu maskulin.

Faktanya, keragaman inilah yang membuat sinema penuh warna dan kuat – ketika pencipta di belakangnya dapat bekerja dengan aman dan bahagia, berbicara dengan jujur, dan bercerita dengan cinta.

Dengan harapan yang sama, tahun ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi bersama Badan Perfilman Indonesia mengangkat tema “Perempuan: Citra, Karya dan Keinginan” dalam penyelenggaraan Festival Film Indonesia 2022 (FFI) dan peran perempuan dalam industri ini, tema tersebut juga dimaksudkan sebagai penghargaan bagi perempuan yang berprestasi di dunia perfilman saat ini.

Baca Juga: Film Rush Hour 4 dalam tahap pembicaraan seperti apa sih keseruanya filim ini

Dengan semakin banyaknya kesempatan kerja berkat berbagai platform digital yang ada saat ini, setiap orang, termasuk wanita, dapat berperan lebih kuat di industri perfilman Indonesia.(jurnalindo/salman)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *