Sorak ramai Perdamaian Suporter Indonesia di media masa

jurnalindo.com – Jakarta, 07/10 – Suasana duka mendadak menyelimuti sepak bola tanah air ketika seluruh surat kabar dan media masa pada Minggu (2/10) pagi memberitakan tragedi memilukan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang.

Betapa tidak, tragedi Kanjuruhan menelan lebih dari 100 korban jiwa. Data awal yang diberitakan ada 127 korban jiwa, kemudian hasil identifikasi ulang menjadi 125 orang, dan bertambah menjadi 130 orang.

Data korban jiwa memang sempat simpang siur karena kondisi dan situasi yang terjadi saat itu, mengingat banyaknya rumah sakit yang menampung korban. Bahkan, ada pula korban yang langsung dibawa pulang.

Terlepas dari perbedaan data jumlah korban, tidak ada sepak bola yang sebanding dengan nyawa manusia, nyawa satupun. Tak boleh ada lagi nyawa yang melayang sia-sia karena sepak bola.

Tak hanya Aremania, semua suporter merasa sangat terpukul dengan kejadian memilukan yang terjadi usai pertandingan antara Arema FC versus Persebaya Surabaya, di Stadion Kanjuruhan, Malang, Sabtu (1/10) lalu.

Seluruh organisasi suporter saling berkumpul untuk mendoakan korban dan keluarga yang ditinggalkan akibat tragedi Kanjuruhan, tragedi yang paling kelam dalam sejarah persepakbolaan Tanah Air.

Tak hanya doa bersama, mereka juga menggaungkan semangat perdamaian, seperti dilakukan ribuan suporter dari berbagai klub se-Pulau Jawa yang berkumpul di halaman parkir Stadion Mandala Krida, Yogyakarta, 4 Oktober lalu.

Pertemuan ribuan suporter itu diawali dengan salat gaib, dan doa bersama untuk para korban tragedi Kanjuruhan, diakhiri dengan penyalaan lilin serta cahaya gawai sebagai simbol perdamaian.

“Kita akan membuat sejarah bahwa kita suporter yang hadir pada malam hari ini akan menghentikan semua kebencian-kebencian yang ada dalam hati kita,” kata Presiden Brajamusti Yogyakarta Muslich Burhanuddin saat berorasi.

Burhanuddin yang acap disapa Thole itu meminta kepada seluruh suporter menjadikan tragedi di Kanjuruhan sebagai titik tolak untuk bersatu memajukan sepak bola Indonesia.

“Kita akan mewariskan hal-hal positif kepada anak cucu kita bahwa ke depan sepak bola di Indonesia, khususnya DIY dan Jawa Tengah penuh dengan suka cita,” ujarnya.

Suporter yang hadir antara lain dari Brajamusti dan The Maident (Yogyakarta), Paserbumi (Bantul), Slemania dan BCS (Sleman), Pasoepati, Ultras, dan GK Samber Nyawa (Solo), Panser Biru dan Snex (Semarang), Aremania (Malang), Bonek (Surabaya), The Jakmania (Jakarta), serta Bobotoh dan Viking (Bandung).

Hadir pula, perwakilan sejumlah elemen suporter dari Medan dan Makassar yang sama-sama bersolidaritas atas tragedi Kanjuruhan dan menyuarakan gaung-gaung perdamaian.

Selanjutnya: Semua suporter bersaudara
 
Semua suporter bersaudara

Sebenarnya, permusuhan antarsuporter klub kerap tidak jelas akar masalahnya karena sudah berlangsung turun-temurun dan mengakar ke anak cucu. Makanya, banyak laga derbi yang kerap menimbulkan kekhawatiran bakal rusuh.

Aremania dan Bonek (Persebaya) adalah salah satu rivalitas suporter yang sudah berlangsung lama. Bahkan, laga derbi antara Arema FC selaku tuan rumah kontra Persebaya di Stadion Kanjuruhan ketika tragedi itu terjadi tidak boleh dihadiri Bonek.

Ironisnya, laga yang nyatanya secara langsung hanya ditonton Aremania di Stadion Kanjuruhan dengan skor akhir 2-3 untuk kemenangan Persebaya itu malah menelan banyak korban jiwa.

Yang lebih menyedihkan, banyak anak-anak dan perempuan yang menjadi korban meninggal dalam tragedi yang terjadi bersamaan dengan peringatan Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat setidaknya 33 anak dengan rentang usia 4-17 tahun meninggal dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan.

“Tiga puluh tiga anak meninggal dunia (terdiri atas) delapan anak perempuan dan 25 anak laki-laki, dengan usia antara empat tahun sampai 17 tahun,” kata Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA Nahar.

Bisa dibayangkan berapa banyak ibu yang mulai saat itu membenci sepak bola karena harus kehilangan anaknya? Berapa banyak pula anak-anak yang kemudian trauma, bahkan untuk sekadar bermain bola?

Semestinya, tragedi Kanjuruhan menjadi sarana introspeksi bagi seluruh pihak, tak terkecuali suporter. Mereka pun sepertinya saat ini juga sudah mulai jengah dengan rivalitas buta terhadap tim kesayangannya yang kebablasan.

Selanjutnya: Benih perdamaian di dunia maya
 
Benih perdamaian di dunia maya

Di dunia maya, benih-benih perdamaian juga digemakan kalangan suporter, seperti dicuitkan komunitas Lembang Crew Bobotoh, suporter Persib Bandung melalui akun Twitternya pada 3 Oktober lalu.

“Bismillah, Lembang Crew Bobotoh sepakat untuk mengakhiri rivalitas buta ini. Kita punya keluarga dan anak yang suatu saat pasti bakal suka sepak bola. Kita ga mau mewariskan kebencian, Rivalitas sehat yang kita inginkan. Cukup 2×45 menit saja,” cuitnya.

Akhirnya, saling cuit memaafkan dan gaung perdamaian pun berbalas dengan akun-akun suporter Persija Jakarta yang selama ini dikenal sebagai rival berat suporter klub berjuluk Pangeran Biru, Persib.

Suporter-suporter klub lain pun melakukan langkah serupa dengan menebar benih perdamaian dan menggaungkan persahabatan. Semoga Tidak ada lagi fanatisme buta dalam sepak bola karena kita semua bersaudara sebagai bangsa Indonesia.

Lupakan permusuhan, hilangkan fanatisme buta untuk klub tercinta. Tidak ada kemenangan dalam pertandingan sepak bola yang seharga nyawa manusia. Mari bersama membangun sepak bola di negeri tercinta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *