JurnalIndo.Com – Kasus dugaan korupsi pengelolaan timah dengan kerugian negara mencapai Rp 300 triliun akhirnya memasuki tahap putusan. Kerusakan ekosistem akibat penambangan ilegal menjadi salah satu faktor terbesar dalam kasus ini, dengan kerusakan lingkungan diperkirakan senilai Rp 271 triliun.
Kerugian Akibat Penambangan Ilegal
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menyebutkan bahwa aktivitas penambangan ilegal di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015–2022 menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 300,003 triliun.
“Kerugian lingkungan pada lahan nonkawasan hutan seluas 95 ribu hektare dan kawasan hutan seluas 75 ribu hektare lebih, dengan total sekitar 170 ribu hektare, mencapai Rp 271 triliun,” ujar hakim dalam sidang putusan, Rabu (11/12/2024). dilansir detik.com
Lima smelter swasta yang bekerja sama dengan PT Timah, yakni PT Refined Bangka Tin, PT Stanindo Inti Perkasa, PT Tinindo Internusa, PT Sariwiguna Binasentosa, dan CV Venus Inti Perkasa, disebut turut berkontribusi dalam kerugian negara sebesar Rp 26,6 triliun akibat kerja sama tersebut.
Vonis untuk Mantan Kadis ESDM Babel
Tiga mantan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Bangka Belitung, yakni Suranto Wibowo (2015–2019), Amir Syahbana (2021–2024), dan Rusbani (Plt Maret 2019), dijatuhi hukuman 2–4 tahun penjara atas keterlibatan mereka.
- Amir Syahbana divonis 4 tahun penjara, denda Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan, dan uang pengganti Rp 325 juta subsider 1 tahun.
- Rusbani dihukum 2 tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider 2 bulan.
- Suranto Wibowo mendapat hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 3 bulan.
Hakim menilai ketiganya melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
“Kerugian negara sangat besar, namun terdakwa tidak mengakui kesalahannya,” tegas hakim.
Modus CSR Palsu oleh Harvey Moeis
Dalam kasus ini, pengusaha Harvey Moeis juga dinyatakan terbukti meminta dana corporate social responsibility (CSR) fiktif kepada smelter swasta yang bekerja sama dengan PT Timah Tbk. Dana tersebut disebut digunakan sebagai “biaya pengamanan,” dengan nilai USD 500–750 per metrik ton hasil peleburan timah.
Dana ini kemudian dikumpulkan melalui mekanisme langsung atau melalui money changer milik Helena Lim, terdakwa lain dalam kasus ini, di bawah bendera PT Quantum Skyline Exchange.
“Uang yang dikumpulkan seolah-olah transaksi penukaran mata uang asing, padahal merupakan pengumpulan dana pengamanan,” kata hakim anggota Sukartono.
Dampak Kasus
Kasus ini tidak hanya mencerminkan kerugian besar bagi negara, tetapi juga kerusakan lingkungan yang signifikan. Hutan seluas 75 ribu hektare di kawasan konservasi mengalami kerusakan parah, mengancam ekosistem di wilayah Bangka Belitung.
Langkah penegakan hukum dalam kasus ini diharapkan menjadi peringatan tegas terhadap praktik korupsi yang berdampak pada lingkungan dan masyarakat luas.
Jurnal/Mas