Jurnalindo.com, – Pada Senin, 28 Oktober 2024, calon wakil gubernur Jakarta, Suswono, akhirnya mengeluarkan pernyataan permintaan maaf terkait usulannya yang dianggap kontroversial. Dalam sebuah pertemuan dengan relawan Bang Japar, Suswono menyarankan agar janda-janda kaya di Jakarta menikahi pengangguran, mengacu pada analogi Siti Khadijah yang menikahi Nabi Muhammad SAW. Usulan tersebut memicu gelombang kritik dan polemik di masyarakat.
Suswono menyadari bahwa pernyataannya telah menimbulkan reaksi negatif. Dalam siaran persnya, ia menjelaskan bahwa pernyataan tersebut dimaksudkan sebagai guyonan dan muncul sebagai respons terhadap celetukan salah satu warga dalam sosialisasi. “Saya menyadari bahwa pernyataan saya telah menimbulkan polemik. Atas hal tersebut, saya meminta maaf dan sekaligus mencabut pernyataan tersebut,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Suswono menegaskan bahwa tidak ada maksud untuk menyinggung janda atau merendahkan Nabi Muhammad SAW. Namun, ia mengakui bahwa guyonan tersebut kurang tepat dan tidak bijaksana. “Guyonan tersebut meskipun dimaksud untuk menyampaikan kepedulian kepada anak-anak yatim dan para janda, memang jelas tidak pada tempatnya,” tambahnya.
Pernyataan maaf Suswono ini mengingatkan publik pada momen sebelumnya yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Pada 2017, Ahok terjerat kasus penistaan agama setelah pidatonya di Kepulauan Seribu yang mengutip Surat Al Maidah. Ia pun meminta maaf di hadapan wartawan, menegaskan bahwa tidak ada niat untuk melecehkan agama Islam. Permintaan maafnya saat itu juga diwarnai dengan gelombang demonstrasi yang dikenal dengan Aksi Bela Islam 212.
Kini, video permintaan maaf Ahok kembali viral di media sosial, bertepatan dengan polemik yang melibatkan Suswono. Hal ini menunjukkan bahwa isu sensitif terkait agama dan pernyataan publik dapat dengan cepat memicu reaksi besar, dan pentingnya kehati-hatian dalam berkomunikasi, terutama bagi para tokoh publik.
Dengan segala kontroversi yang muncul, Suswono berharap agar masyarakat dapat menerima permohonan maafnya dan melanjutkan diskusi dengan cara yang lebih konstruktif. Momen ini menjadi pelajaran bagi semua pihak tentang dampak dari pernyataan yang diucapkan di ruang publik, serta perlunya sensitivitas dalam berbicara tentang tema-tema yang dapat menyinggung kepercayaan masyarakat. (Republika/Nada)