JurnalIndo.Com – Dua tahun lalu, pada 1 Oktober 2022, tragedi kelam menyelimuti dunia sepakbola Indonesia. Sebuah pertandingan antara Arema FC dan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, berubah menjadi mimpi buruk. Ratusan suporter kehilangan nyawa dalam kekacauan pasca pertandingan tersebut, meninggalkan luka mendalam bagi keluarga korban dan dunia sepakbola nasional.
Peristiwa itu bermula ketika ratusan suporter Arema FC memasuki lapangan setelah peluit panjang berbunyi, menyusul kekalahan tim mereka. Alih-alih menenangkan situasi, tindakan brutal dari petugas keamanan justru memperburuk keadaan. Aparat menembakkan gas air mata ke arah tribun, memicu kepanikan di antara penonton yang berusaha menyelamatkan diri. Kepanikan ini diperburuk dengan pintu-pintu keluar yang sebagian terkunci, membuat ratusan orang terjebak.
Akibatnya, tragedi besar tak terhindarkan. Banyak penonton, termasuk perempuan dan anak-anak, terinjak-injak saat mencoba keluar dari stadion. Dalam tragedi ini, sebanyak 135 orang meninggal dunia, sementara lebih dari 550 orang lainnya mengalami luka-luka.
Langkah Pascatragedi: Perbaikan yang Belum Optimal
Setelah tragedi itu, sepakbola Indonesia tidak dibekukan oleh FIFA. Sebaliknya, Indonesia diberi arahan untuk memperbaiki penyelenggaraan pertandingan, terutama terkait pengendalian suporter. Namun, hingga kini, berbagai kericuhan dan insiden kekerasan di sepakbola Indonesia masih kerap terjadi.
Di tahun lalu, beberapa pertandingan di Liga 1 dan Liga 2 diwarnai kericuhan, bahkan kejadian serupa juga terjadi pada tahun ini. Salah satu yang paling menonjol adalah bentrokan antara suporter saat laga Persib Bandung melawan Persija Jakarta, yang memperlihatkan bahwa upaya perbaikan masih belum maksimal.
Apung Widadi, pendiri Save Our Soccer, mengkritik lambatnya langkah federasi sepakbola Indonesia, PSSI, dalam menjalankan rekomendasi dari FIFA pascatragedi Kanjuruhan. Menurutnya, federasi seharusnya lebih tegas dan tidak melupakan kejadian tragis tersebut.
“Sedih, dua tahun berlalu seolah tidak ada respek dari pihak yang bertanggung jawab, terutama pemangku kepentingan sepakbola Indonesia. Bangsa kita sepertinya mudah lupa pada tragedi-tragedi besar, terutama yang melibatkan kemanusiaan,” ujar Apung kepada **detikSport**.
Ia juga menekankan bahwa semua pihak, termasuk PSSI dan PT Liga Indonesia Baru (LIB), harus menerapkan aturan yang tegas untuk menghindari terulangnya insiden serupa. Apung mencontohkan kericuhan di Bandung yang seharusnya direspons dengan penegakan hukum yang jelas agar memberikan efek jera. dilansir dari detik.Com
Suporter yang Dewasa: Kunci Menjaga Sepakbola Indonesia
Tak hanya tanggung jawab federasi, Apung juga menyerukan agar suporter lebih dewasa dalam menyikapi hasil pertandingan. Menurutnya, masalah suporter seringkali terjadi karena ketidakmerataan kapasitas penonton, terutama antara penonton tim nasional dan klub lokal.
“Suporter harus pintar dan realistis dalam mendukung tim mereka. Jangan sampai tindakan anarkis seperti tawuran dan turun ke lapangan justru merugikan masa depan sepakbola itu sendiri,” ungkap Apung.
Ia berharap suasana menonton pertandingan klub di liga bisa menyamai atmosfer saat mendukung tim nasional, di mana seluruh keluarga bisa menikmati pertandingan bersama tanpa rasa takut.
“Mungkin ada perbedaan kelas masyarakat di sini. Penonton timnas biasanya dari kalangan menengah ke atas, sementara penonton klub lokal seringkali masih remaja atau anak-anak yang belum memahami etika menonton. Kearifan lokal dalam mendukung tim sepakbola harus terus dibangun, jangan malah meniru gaya suporter luar negeri yang justru sedang diselidiki terkait mafia dan kekerasan.”
Apung juga menyoroti fenomena ultras dan suporter yang meniru gaya ekstrem dari negara lain. “Kita harus kembali pada konsep suporter penuh persaudaraan seperti era ISL dulu. Jangan ikut-ikutan dengan versi luar negeri yang penuh kekerasan dan bahkan diinvestigasi terkait mafia. Kedepan, penggunaan masker di stadion, seperti yang dilakukan suporter Atletico kemarin, akan dilarang,” tutupnya.
Refleksi Dua Tahun Pascakejadian
Dua tahun berlalu sejak tragedi Kanjuruhan, namun sepakbola Indonesia masih harus banyak berbenah. Kekerasan di tribun dan buruknya manajemen pertandingan menunjukkan bahwa pelajaran dari tragedi tersebut belum sepenuhnya dipetik. Dengan kesadaran semua pihak, mulai dari PSSI, klub, hingga suporter, sepakbola Indonesia diharapkan dapat bangkit menjadi lebih aman dan tertib, serta jauh dari kekerasan yang menghancurkan masa depan olahraga ini.
Jurnal/Mas