Peneulis : Abd Muhid, S.H.I., M.E
Mantan pimred majalah organisasi kemahasiswaan PMII Komisariat Joyo Kusumo Pati.
Jurnalindo.com, – Tetes air mata membasahi pipi Kadhijah Ratna Juwita, bukan tangis kesedihan, melainkan luapan kebahagiaan yang tak terbendung. Di hadapan ratusan jamaah yang hadir dalam acara buka bersama dan peringatan Nuzulul Qur’an di Pondok Pesantren Al-Hikmah Mantab, sore itu, ia dengan lantang dan khusyuk melafalkan dua kalimat syahadat, dipandu oleh Kyai Bahrudin Habib.
Momen sakral itu menjadi puncak perjalanan spiritual Juwita, seorang perempuan yang akhirnya menemukan hidayah Allah SWT. Setelah bertahun-tahun mencari makna kehidupan, hatinya tergerak untuk memeluk agama Islam. Tangis haru yang membanjiri wajahnya adalah ungkapan syukur atas petunjuk yang diberikan Sang Pencipta.
Masuknya Islam Mbak Juwita menjadi pengingat bagi kita semua, bahwa hidayah Allah dapat datang kapan saja dan kepada siapa saja. Tidak ada yang mustahil bagi-Nya. Seorang yang dulunya jauh dari agama Islam, dalam sekejap mata bisa menjadi seorang mukmin yang taat.
Namun, di tengah kebahagiaan ini, terselip sebuah ironi. Masih ada sebagian orang yang dengan mudahnya melabeli sesama muslim sebagai kafir atau musyrik, hanya karena perbedaan pandangan atau sentiment pribadi. Tindakan ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam, yang menekankan pentingnya menjaga persaudaraan dan menghindari sikap takfir (mengkafirkan).
Rasulullah SAW telah mengingatkan dalam hadits Bukhari Muslim, bahwa tuduhan kafir yang dilontarkan kepada seorang muslim akan berbalik kepada penuduh jika tuduhan tersebut tidak benar. Oleh karena itu, mari kita jauhkan diri dari sikap mudah mengkafirkan orang lain, apalagi jika orang tersebut jelas-jelas menjalankan syariat Islam.
Kembali kepada kisah Juwita, statusnya sebagai seorang mualaf menuntut dukungan dan bimbingan dari keluarga dan orang-orang terdekatnya. Suaminya, khususnya, memiliki peran penting dalam membimbingnya untuk memperdalam ilmu agama dan menguatkan imannya. Lingkungan yang kondusif dan penuh kasih sayang akan membantu Juwita menjalani kehidupan barunya sebagai seorang muslimah dengan penuh keyakinan dan kebahagiaan.
Istilah mualaf sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti “orang yang dilembutkan hatinya”. Mereka adalah saudara baru kita yang membutuhkan uluran tangan dan bimbingan. Mari kita sambut para mualaf dengan tangan terbuka, memberikan mereka dukungan dan motivasi agar iman mereka semakin kokoh dan ibadah mereka semakin meningkat. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan hidayah dan kekuatan kepada kita semua. (Jurnalindo.com)