Menjunjung Tinggi Harmoni: Etika Bermasyarakat yang Berkeadilan

Jurnalindo.com
Jurnalindo.com

Jurnalindo.com, – Dalam kehidupan bermasyarakat yang ideal, fondasi utama yang harus kita pegang teguh adalah sikap saling menghargai. Sebagai warga negara, kita memiliki kedudukan yang setara di mata hukum dan memiliki hak-hak mendasar yang dilindungi, seperti hak untuk berekspresi, berkumpul, dan menjalankan kegiatan spiritual sesuai dengan keyakinan masing-masing. Kebebasan ini, tentu saja, memiliki batasan yang jelas, yaitu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum pemerintah dan norma-norma agama yang berlaku.

Sayangnya, dalam realitas sosial, tak jarang kita jumpai praktik yang mencederai nilai-nilai luhur ini. Tindakan sekelompok masyarakat yang mencoba mengekang atau melarang kegiatan masyarakat lain, hanya karena merasa memiliki kekuasaan sebagai tokoh agama atau perangkat desa, adalah sebuah pelanggaran etika yang mendasar. Mengintimidasi dan merendahkan kelompok lain, apalagi sampai melarang mereka untuk melakukan kegiatan spiritual atau meyakini makam leluhur yang dianggap sebagai cikal bakal desa, adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan.

Kita perlu memiliki pemikiran yang jernih dan terbuka terkait dengan keberadaan tokoh-tokoh penting di masa lalu, yang seringkali dihormati sebagai waliyullah atau pemengku wilayah oleh masyarakat setempat. Jangan sampai kita menghalangi masyarakat yang memiliki keyakinan bahwa setiap desa pasti memiliki sejarah dan asal-usulnya. Adalah sebuah logika sederhana bahwa tidak mungkin sebuah permukiman tumbuh menjadi ramai dan besar secara tiba-tiba. Pasti ada tokoh atau komunitas awal yang membuka dan membangun wilayah tersebut. Sebagai generasi penerus, sudah selayaknya kita menghormati dan berbuat yang terbaik untuk para pendahulu kita.

Jika memang sejarah dan jejak leluhur kita belum sepenuhnya terungkap, hal ini bukanlah alasan untuk menafikan keberadaan mereka. Justru, kondisi ini seharusnya memicu semangat untuk menelusuri dan mencari tahu siapa sebenarnya tokoh yang pertama kali membuka wilayah tempat kita tinggal. Generasi yang memahami akar sejarahnya adalah generasi yang memiliki pemahaman yang lebih utuh tentang jati dirinya.

Untuk mengungkap sejarah dan asal-usul suatu wilayah, upaya penelusuran yang melibatkan para ahli di bidangnya menjadi sangat penting. Proses ini juga harus bersifat terbuka dan melibatkan partisipasi aktif dari seluruh masyarakat setempat. Logika sederhana mengajarkan kita bahwa segala sesuatu yang ada pasti memiliki penyebab atau yang mengadakan. Begitu pula dengan sebuah perdukuhan, pasti ada individu atau kelompok yang pertama kali mendirikannya.

Oleh karena itu, mari kita pupuk sikap saling menghargai kebebasan berekspresi, berkumpul, berpendapat, dan berkeyakinan di tengah masyarakat. Jika ada perbedaan pendapat terkait penemuan situs atau makam leluhur, janganlah sampai perbedaan tersebut merusak harmoni dan memicu tindakan yang mengganggu keyakinan kelompok masyarakat lain yang hidup bertetangga. Apalagi sampai timbul permusuhan atau keinginan untuk menghancurkan simbol-simbol yang diyakini.

Ingatlah, tidak ada hak bagi satu kelompok masyarakat untuk membatasi kegiatan kelompok masyarakat lain, selama kegiatan tersebut tidak melanggar aturan pemerintah, aturan adat yang berlaku, dan tidak mengganggu kepentingan umum. Dengan menjunjung tinggi etika bermasyarakat yang berlandaskan saling menghargai dan menghormati, kita akan menciptakan lingkungan sosial yang harmonis, adil, dan damai. (Jurnal/Abd. Muhid)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *