JurnalIndo.Com – Rembang, 4-5 April 2025 – Masyarakat Kendeng yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK) kembali melaksanakan kegiatan kebudayaan rutin tahunan “Kupatan Kendeng”. Kupatan yang berarti “ngaku lepat” atau mengaku bersalah adalah ungkapan permintaan maaf atas segala kesalahan secara sadar dan ikhlas untuk terus menjaga persaudaraan dan solidaritas. Bukan hanya kepada sesama manusia, namun lebih dari itu namun merupakan ungkapan permintaan maaf atas kelalaian manusia dalam menjaga alam sekaligus bentuk penguatan tekad untuk selalu menjaga kelestarian alam, khususnya di Pegunungan Kendeng.
“Urip Urup Kanggo Bumi” adalah refleksi selama beberapa tahun terakhir dimana masyarakat dibombardir habis-habisan oleh negara melalui sepaket pembahasan kebijakan super cepat dan tanpa partisipasi bermakna seperti revisi UU TNI, revisi UU Minerba, Omnibuslaw hingga revisi UU KPK. Berbagai gelombang protes atau aksi atas kebijakan tersebut oleh masyarakat-masyarakat tapak perjuangan justru direspon dengan represif, kekerasan, intimidasi, dan bahkan kriminalisasi. “Urip Urup” adalah ajakan untuk terus menyala ditengah gelap demokrasi Indonesia. Masyarakat yang harus terus kuat dan terhubung satu sama lain sebagai bagian dari senasib sepenanggungan seperjuangan atas ulah negara yang lalai terhadap pemenuhan hak-hak dasar rakyatnya.
Momen Kupatan tahun ini, masyarakat Kendeng mengundang perwakilan kecil masyarakat yang masih berjuangan di Jawa Tengah seperti Pracimantoro Wonogiri, Rembang, Pati, Blora dan jaringan seperti LBH Semarang, YLBHI, JATAM, Trend Asia, Taring Padi, Dandhy dan person aktifis lainnya. Rembuk kampung yang dimaksudkan dalam momen mengumpulkan masyarakat lintas daerah ini dimaksudkan untuk saling bertukar persoalan dan pembelajaran penting dari perjuangan-perjuangan antar daerah. Wonogiri dengan rencana ekspansi tambang dan pabrik semennya secara organik masyarakat terorganisir untuk melawan perusakan lingkungan yang mengancam ekosistem kawasan bentang alam karst (KBAK) Gunungsewu. Rembuk kampung kali ini jadi momen penting Wonogiri belajar dan menguatkan dukungan dari Kendeng dan masyarakat lainnya yang sudah lama dan memiliki pengalaman dalam perjuangan penolakan pabrik semen.
Di satu sisi, Rembang dan konteks Kendeng secara khusus mengalami perluasan pertambangan yang cukup masif. Perubahan kebijakan tata ruang baik di Provinsi maupun Kabupaten telah mengakomodir potensi gelombang kerusakan alam secara masif atas dasar pertumbuhan ekonomi dan perluasan kantong-kantong kawasan industri. Parahnya Pemkab Rembang justru tidak peduli dengan kondisi itu, munculnya Perda terkait dengan penarikan retribusi tambang baik yang legal maupun ilegal menujukkan watak rakus atas sumber daya alam yang harusnya dijaga bukan diobral habis-habisan.
Pada situasi nasional tidak jauh berbeda. Berlanjutnya program PSN, food estate, ditambah dengan adanya revisi UU TNI, revisi UU Minerba menunjukkan rezim yang sudah siap memukul bahkan menggigit jika masyarakat protes atasnya. Padahal jika melihat produksi semen hingga awal 2024 saja telah overproduksi ratusan juta dengan angka konsumsi kurang dari setengahnya. Artinya penambahan konsesi dan pabrik semen tidak lah urgent dilakukan baik secara ekonomi apalagi dalam kacamata lingkungan yang jelas berdampak besar.
Sejak awal tahun 2024, pemerintah hanya mewacanakan untuk melakukan moratorium tambang dan pabrik semen atas dasar overproduksi tersebut. Namun hingga kini, tidak keluar satu kebijakan apapun untuk merealisasikan wacana tersebut. Hal ini tentu berhubungan terhadap makin menjamurnya tambang-tambang termasuk dengan dampak yang menyertainya semisal longsor, banjir, kekeringan, dan potensi krisis lainnya. Padahal jika moratorium ini serius dilakukan, maka cita-cita kedaulatan/ketahanan pangan akan tercapai. Jawa Tengah sebagai salah satu lumbung pangan besar di Indonesia akan bisa mencukupi kebutuhan domestik manakala keseriusan terhadap moratorium tambang dan kelestarian lingkungan ditindaklanjuti.
“Urip Urup Kanggo Bumi” adalah perwujudan bahwa menyalakan api perlawanan tidak bisa dilakukan hanya dengan satu obor, butuh ada puluhan bahkan ratusan obor yang saling terhubung untuk mampu membakar hama perampas kedaulatan rakyat.
Salam Kendeng!
Lestari !!!
Narahubung:
Joko Prianto: 0821-3438-6363