Opini  

Belajar dari Runtuhnya Pemerintah Suriah

Jurnalindo.com
Jurnalindo.com

Jurnalindo.com, – Suriah, negeri nun jauh di Timur Tengah berbatasan dengan Palestina dan Jordania di Barat dan berbatasan dengan Irak di Timur, disebalah Utara berbatasan dengan Turkiye. Suriah, negeri yang memiliki kemegahan sejarah dalam perjalanan panjang Peradaban Islam. Pernah menjadi pusat peradaban Dunia pada zaman kekhalifahan Bani Umayyah, terekam jelas pada Masjid Umayyah.

Belum genap satu bulan, tepatnya tanggal 8 Desember 2024 sangat terkejut ketika mendengar kejatuhan pemerintah Suriah, gempuran terakhir pada Pemerintah Suriah berlangsung hanya satu minggu, meski konflik perang usdah berjalan setidaknya selama 15 tahun. pemerintah Suriah harus mengangkat bendera putih pada kelompok pemberontak, yang mayoritas pejuang asing dari berbagai  luar Suria seperti Uighur, Kazakstan, Pakistan, Saudi, dan Indonesia datang berbondong-bondong ke Suriah. Kedatangan combatan asing di Suriah awalnya menggunakan plantform Mujahidin Irak-Suriah atau Islmic State Irak and Suriah (ISIS) kemudian bertransformasi menjadi Jabhah Nusrah, hingga terakhir menjadi Hayat Tahrir al-Sham (HTS).

Banyak faksi-faksi kelompok pemberontak di Suriah, yang diternak oleh kepentingan Globalis Cabal untuk mempertahangan Hegemoni entitas Barat di Suriah sejak 2005 tahun lalu. Saking banyaknya tidak kurang dari 20 kelompok bersenjata yang merongrong kedaulatan Suriah. Tampil paling dominan adalah kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS), sebuah entitas ekstrim yang lahir dari Al Qaida kemudian sempat menjadi bagian aktif Islamic State Irak Suriah (ISIS) hingga kemudian menjadi HTS. HTS memiliki akar ideologi Takfiri yang menganggap pemahaman diluar mereka sebagai Kafir dan halal darahnya. Sehingga tidak aneh jika kita akan melihat combatan-combatan yang mabuk agama ini akan meneriakan Takbir sambil memberondong tembakan atau bahkan mengebom orang-roang Muslim. Barat pada proses instabilitas di Suriah selanjutnya menyebutkan HTS sebagai kelompok Moderat, hal ini dimaksudnkan untuk mendapat simpati Dunia Internasional.

Barat memiliki kepentingan yang erat di Suriah, karena pemerintah Suriah pada masa kepemimpinan Basyar Al Assad lebih condong kepada Rusia dan Iran serta Cina pada kontestasi Global. Suriah era Basyar Al Asad juga dianggap menjadi ganjalan entitas Israil, dengan membantu perjuangan bangsa Palestina untuk merdeka dari Penjajahan Israil. Israil seperti kita ketahui, merupakan kepanjangan kepentingan Hegemoni Barat di Timur Tengah.

Runtuhnya pemerintahan di Suriah menjadi warning bagi kita di Indonesia, bagaimana sebuah gerakan Takfiri yang dibawa segelintir kecil kelompok, kemudian menjadi bola salju ketika bertemu kepentingan dengan Globalis, Kapitalis, Zionis hingga akhirnya diberi jubah Demokratis. Demokrasi dalam ranah konseptual seperti perempuan Cantik yang menawarkan keindahan dan kebahagiaan. Terdengar utopis memang, namun manusia memang butuh mimpi sebagai sesuatu yang diperjuangkan. Disatu sisi, Demokrasi pada pada realitanya seringkali digunakan sebagai senjata oleh kepentingan Barat, untuk  menggoyang stabilitas atau untuk mempertegas eksistensi hegemoninya. Dalam konteks Indonesia, perlu pengamatan yang cermat oleh para aktifis dalam melihat sebuah isu Nasional, dimana seharusnya National Interests menjadi prioritas.

Kembali ke Suriah, media arus utama dan media sosial menjadi penggerak awal yang mempengaruhi cara pandang masyarakat. Masifnya media sosial yang merasuk hingga kesendi-sendi kehidupan sehari-hari, seperti belati yang memiliki dua mata sisi. media di negara maju dikategorikan sebagai senjata perang, sejajar dengan rudal. Negara-negara yang masyarakatnya candu dengan media sosial seperti memeluk bom waktu, tinggal menunggu giliran dan waktunya saja terjadi ledakan sosial. Media social terbukti mampu menjadi control emosi dan control psikologi yang efektif dan mematikan. Tulisan ini tidak untuk menjadikan kita pesimis atau skeptis terhadap Demokrasi, Media sosial, apalagi phobia terhadap entitas Barat. Namun, memberikan kesadaran pada kita bahwa ada konsekwensinya dan realitas lain tidak hanya apa yang kita baca, lihat, ketahui.

Terakhir, kesadaran sosial merupakan penawar paling manjur menghadapi Dunia yang statis, sewaktu-waktu bisa berubah, bahkan sangat cepat perubahannya. Peran sendi-sendi berbangsa dan bernegara di Indonesia harus lebih kerja ekstra dalam menjaga dan merekatkan Ke Indonesiaan. Selayaknya kita semua memiliki kesadaran terkait isu social yang berpotensi yang merusak kerukunan dan stabilitas National. Semoga peristiwa nun jauh di Suriah bisa menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi Bangsa Indonesia.

Salam Cinta dan Damai untuk semua.

Penulis : Teguh Santoso, M.Ag Dosen Universitas Safin Pati,

(Analis/Pengamat Timur Tengah)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *