Jurnalindo.com – Sebagai mekanisme dalam konstitusi, siklus pemilihan umum (Pemilu) ditegaskan Anggota DPR RI Subardi setiap lima tahunan sekali harus terus berjalan.
“Siklus Pemilu lima tahunan itu harus berjalan. Tidak boleh diundur, karena di situ ada pelimpahan legitimasi dari rakyat kepada pemerintah. Itu mekanisme konstitusi,” demikian kata Subardi dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu.
Dia menjelaskan makna Pemilu setiap lima tahun sekali adalah pembaharuan legitimasi. Dari aspek filosofis, negara wajib menyediakan sarana pelimpahan legitimasi agar roda pemerintahan tetap sah.
Apabila sarana itu diganggu, konsekuensi-nya ada kekosongan jabatan presiden, karena masa jabatannya berakhir. Akibatnya, negara kehilangan pemerintah yang sah. Rakyat juga dirugikan karena tidak mendapat saluran legitimasi-nya.
“Siklus Pemilu harus dijalankan agar tidak ada kekosongan kekuasaan. Agar tidak ada perampasan hak rakyat. NasDem tegas menolak penundaan Pemilu. Ketua Umum Surya Paloh sudah menyatakan hal itu,” ujar Subardi menegaskan.
Baca juga: Hindarkan Naturalisasi Ketua Komite X DPR Sebut “Big Data” Sebagai Solusi
Subardi mengatakan dalam konsideran Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 disebutkan, Pemilu adalah bagian dari sistem ketatanegaraan yang demokratis demi menjamin konsistensi dan kepastian hukum. Subardi mengatakan, arti kata “konsistensi” dan “kepastian hukum” merupakan penegasan perlunya siklus Pemilu yang rutin setiap lima tahun sekali.
“Dalam konsideran sudah jelas, Pemilu itu harus konsisten demi kepastian hukum,” ucapnya.
Subardi juga menjelaskan, penundaan Pemilu dan percepatan Pemilu memang pernah terjadi di Indonesia. Terdapat dua kali penundaan Pemilu, Pertama, Pemilu direncanakan tahun 1946, tapi gagal karena UUD masih proses penyusunan. Pemilu pertama baru terlaksana tahun 1955 dengan landasan UUDS 1950.
Kedua, Pemilu kedua ditunda ke tahun 1959, 1960, 1962, 1966, 1968, namun akhirnya terlaksana pada 1971. Faktor stabilitas keamanan termasuk peristiwa G30S PKI hingga peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru membuat Pemilu kedua baru digelar tahun 1971 atau 16 tahun kemudian.
Begitupun dengan percepatan Pemilu pada tahun 1999, atau lebih cepat dari seharusnya tahun 2002 (pemilu sebelumnya 1997). Percepatan Pemilu karena negara membutuhkan legitimasi baru setelah penggulingan rezim orde baru.
“Alasan penundaan dan percepatan Pemilu saat itu karena negara dalam keadaan darurat. Rakyat juga mendukung. Kalau sekarang tidak ada darurat. Justru, siklus Pemilu yang rutin itu bagus bagi demokrasi kita,” tuturnya. (ARA/iva)