Jurnalindo.com – Jakarta – Lembaga peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyebutkan pemerintah perlu mempertimbangkan untuk merelaksasi impor pangan sebagai bentuk antisipasi terhadap kelangkaan dan kenaikan harga komoditas tersebut akibat faktor internal dan eksternal.
Krisna Gupta selaku Associate Researcher CIPS dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Senin. Mengatakan “Sejauh ini inflasi Indonesia masih cukup terkendali. Produk-produk pangan yang selama ini memang dikontrol perdagangannya bisa direlaksasi kuotanya jika memang inflasi mulai menekan. Kebetulan selama ini harga pangan di Indonesia memang sudah lebih mahal daripada pasar dunia akibat pembatasan impor,”.
Krisna mengatakan relaksasi impor bisa digunakan untuk menjaga kestabilan harga. Saat ini, kata dia, kenaikan harga beras masih lebih terkendali dibandingkan gandum, jagung ataupun kedelai.
Sejumlah harga komoditas pangan internasional terdampak konflik Rusia dan Ukraina, namun Indonesia memiliki hubungan dagang yang cukup jauh dengan kedua negara tersebut. Hal itu bisa dilihat dari nilai total impor kedua negara hanya berkontribusi pada sekitar satu persen dari total impor Indonesia. Sementara itu, jumlah investasi Rusia maupun Ukraina ke Indonesia juga tidak signifikan.
Meski demikian, kata Krisna, keduanya merupakan sumber utama barang impor untuk Indonesia. Ukraina memasok sekitar 24 persen dari total impor gandum Indonesia pada 2020. Sementara itu, pupuk impor asal Rusia menyumbang sekitar 15 persen dari total pupuk impor Indonesia.
Kedua negara tersebut juga banyak membeli produk minyak nabati (kelapa sawit) Indonesia, meski jumlah transaksinya hanya sekitar 0,5 persen dari total ekspor sawit Indonesia pada 2020.
Walaupun jumlah impor gandum dari Ukraina tidak terlalu besar, menurut dia, Indonesia tetap perlu mencari sumber pemasok gandum lain untuk menghindari dampak kelangkaan jikalau perang terus berlanjut. Hal ini dibutuhkan untuk menghindari kelangkaan dan kenaikan harga pada bahan pangan yang bersumber dari gandum.
Gandum sebagian besar digunakan untuk penggilingan tepung terigu, yang tidak hanya dipakai oleh konsumen, tapi juga produsen mi instan, pasta, roti, hingga kue-kue dan jajanan pasar. Padahal, tanpa perang pun harga gandum dunia sedang naik karena permasalahan produksi akibat masalah cuaca.
Dia mengatakan bahwa Indonesia perlu mewaspadai kenaikan harga komoditas pangan selain gandum. Terganggunya pasokan pupuk dunia berpotensi menaikkan harga pupuk yang sudah mahal karena harga gas dan larangan ekspor pupuk oleh China. Kekurangan pasokan pupuk dapat menyebabkan harga-harga komoditas, misalnya saja jagung dan kedelai, semakin tinggi.
Menurut Krisna, ketersediaan pasokan pupuk juga tidak kalah penting karena pupuk digunakan oleh semua tanaman. Harga gas Indonesia juga terus naik seiring meningkatnya kebutuhan pabrik-pabrik smelter yang mulai beroperasi.
Krisna mengatakan bahwa relaksasi dapat dilakukan dengan membuka kuota impor. Beberapa komoditas pangan dikenakan kuota impor demi menjaga nilai tukar petani dan juga menjaga volatilitas harga. Ketika suplai domestik dirasa cukup, maka keran impor akan ditutup. Namun ketika harga mulai dirasa terlalu tinggi, maka keran impor dibuka.
“Akan tetapi, jika harga pangan dunia naik terlalu tinggi melebihi harga domestik, maka meskipun kuota impor dibuka sebebas-bebasnya, maka harga tidak akan turun. Jadi, jika harga domestik naik, kita tinggal buka keran impor. Selama harga internasional selalu lebih rendah daripada harga domestik, maka cara ini akan bisa mengendalikan inflasi,” jelasnya.(Ara/Aniq)