JurnalIndo.Com – Sebuah kasus kontroversial baru-baru ini mencuat di Australia ketika seorang transgender wanita bernama Roxanne Tickle menggugat platform online khusus perempuan, Giggle for Girls, setelah aksesnya ditutup oleh platform tersebut. Gugatan hukum yang diajukan Roxanne Tickle berakhir dengan kemenangannya, menimbulkan perdebatan luas tentang hak-hak transgender dan pentingnya menjaga ruang eksklusif bagi perempuan cisgender.
Pada tahun 2021, Tickle dilarang mengakses aplikasi Giggle for Girls dengan alasan bahwa dia lahir sebagai pria. Aplikasi ini dirancang sebagai komunitas online eksklusif bagi perempuan, dan pendirinya, Sall Grover, berpendapat bahwa platform tersebut seharusnya hanya diperuntukkan bagi perempuan cisgender, yaitu mereka yang identitas gendernya sesuai dengan jenis kelamin saat lahir. dilansir dari Wolipop.Com
Namun, Federal Court of Australia memutuskan bahwa tindakan tersebut merupakan bentuk diskriminasi tidak langsung berdasarkan gender. Dalam putusannya, Hakim Robert Bromwich menegaskan bahwa pelarangan terhadap Tickle didasarkan pada persepsi bahwa dia memiliki penampilan pria, meskipun secara hukum dia dianggap sebagai wanita.
“Tidak diragukan lagi bahwa alasan pelarangan terhadap Tickle adalah karena dia dianggap memiliki penampilan pria, yaitu dianggap sebagai pria saat lahir,” ujar Hakim Bromwich dalam putusannya. Dia juga menambahkan bahwa secara hukum, Tickle diakui sebagai wanita, sebagaimana tercantum dalam akta kelahirannya yang telah diperbarui.
Hakim Bromwich menekankan bahwa keputusan ini melibatkan isu yang lebih luas daripada sekadar biologi, mengingat bahwa secara hukum, Tickle sudah diakui sebagai wanita. Akibat dari keputusan ini, Tickle berhak menerima kompensasi sebesar 10.000 dolar Australia atau sekitar Rp 105 juta.
Keputusan pengadilan ini memicu reaksi beragam di kalangan masyarakat. Para aktivis LGBTQ menyambut baik putusan tersebut sebagai kemenangan bagi kesetaraan hak. Mereka berpendapat bahwa wanita transgender harus diperlakukan sama seperti wanita cisgender dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk akses ke ruang-ruang yang secara tradisional dipisahkan berdasarkan gender, seperti ruang ganti dan olahraga.
Di sisi lain, kelompok feminis yang kritis terhadap gerakan transgender mengungkapkan keprihatinan mereka. Mereka berpendapat bahwa perempuan membutuhkan ruang eksklusif yang menjaga privasi dan keamanan mereka, mengingat perbedaan biologis antara pria dan wanita.
Sall Grover, pencipta aplikasi Giggle for Girls, menyatakan bahwa meskipun dia memperkirakan putusan ini, dia akan terus berjuang untuk hak-hak perempuan. “Perjuangan untuk hak-hak perempuan masih terus berlanjut,” tulisnya di media sosial.
Kasus ini menggambarkan kompleksitas perdebatan mengenai hak-hak transgender dan ruang khusus untuk perempuan, serta tantangan yang dihadapi masyarakat dalam mencapai keseimbangan antara kesetaraan hak dan perlindungan ruang privasi.
Jurnal/Mas