jurnalindo.com – Koordinator Substansi P2 Pencegahan dan Pengendalian Diabetes Melitus dan Gangguan Metabolik (P2DMGM) Kementerian Kesehatan dr. Esti Widiastuti, M.ScPH dalam sebuah webinar kesehatan mengatakan, obesitas menjadi faktor risiko terjadinya penyakit tidak menular (PTM) dan penyebab kematian kelima tertinggi.
Kontribusi terbesar obesitas sebagai faktor risiko penyebab kematian terjadi akibat penyakit jantung dan penyakit ginjal dengan menyumbang masing-masing 5,87 persen dan 1,84 persen dari total kematian.
Obesitas juga berkaitan dengan peningkatan risiko hipertensi hingga 5 kali lipat dan risiko penyakit jantung hingga 2 kali lipat. Hal ini perlu diwaspadai karena prevalensi penyakit-penyakit kronis ini di Indonesia terus meningkat, yaitu 10,8 persen untuk diabetes, 34,1 persen untuk hipertensi berdasarkan hasil pengukuran dan 1,5 persen untuk penyakit jantung berdasarkan diagnosis dokter, menurut data Riskedas 2018.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan prevalensi obesitas untuk usia 18 tahun ke atas meningkat dari 14,8 persen di tahun 2013 menjadi 21,8 persen di tahun 2018. Data itu juga memperlihatkan, pada mereka yang berusia diatas 15 tahun kejadian obesitas sentral mengalami kenaikan dari semula 18,8 persen pada tahun 2007, kemudian 26,6 persen pada 2013 dan 31 persen pada tahun 2018. Sementara pada kategori usia di bawah 5 tahun, obesitas dialami sekitar 8 persen anak pada tahun 2018.
Baca juga: Makanan Dan Minuman Penyebab Gula Darah
WHO mendefinisikan obesitas sebagai penumpukan lemak yang berlebihan akibat ketidakseimbangan energi yang masuk dan keluar dalam waktu lama. Di Indonesia, beberapa rujukan salah satunya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 41 tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang menyebut batasan obesitas yakni indeks massa tubuh (IMT) lebih dari angka 27 yang didapat dari perhitungan berat dalam satuan kilogram dan tinggi badan dalam satuan meter.
Terkait penyebab, kejadian obesitas pada usia muda antara lain akibat perubahan aktivitas fisik dan meningkatnya konsumsi makanan tinggi kalori dengan kandungan gula, garam, dan lemak yang tinggi, kurang sayur dan buah.
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan sebenarnya sudah memberi rekomendasi pola makan sehat berpedoman pada gizi seimbang. Merujuk pada Isi Piringku, misalnya dalam setengah porsi piring perlu terdiri dari sayur sebanyak 2/3, buah-buahan 1/3, lalu setengah piring lagi karbohidrat 2/3 dan protein 1/3. Sementara asupan gula, garam dan garam yang disarankan yakni 50 gram atau setara 4 sendok makan untuk gula, garam tidak lebih dari 5 gram atau setara 1 sendok teh, dan lemak tidak lebih dari 67 gram atau setara 5 sendok makan.
Tetapi, kenyataannya anjuran ini belum diterapkan sebagian besar masyarakat Indonesia. Data Riskesdas pada tahun 2018 memperlihatkan sekitar 95,4 persen masyarakat Indonesia masih kurang mengonsumsi buah dan sayur lima porsi setiap hari dalam seminggu.
Hal tidak jauh berbeda terjadi pada penerapan asupan gula, garam dan lemak. Kepatuhan masyarakat pada asupan gula sesuai aturan yakni 4 sendok makan hanya 4,8 persen, lalu 52,7 persen untuk takaran garam 1 sendok teh per hari dan 26,5 persen lemak atau atau 5 sendok makan.
Baca juga: Saat Gula Darah Naik, Jangan Panik! Lakukanlah Ini
Padahal, pakar kesehatan salah satunya dokter spesialis gizi klinik dari Perhimpunan Dokter Spesialis Gizi Klinik Indonesia (PDGKI), dr. Marya Haryono, MGizi, SpGK, FINEM menyebut kebiasaan mengonsumsi jenis makanan tinggi gula, garam, lemak berkontribusi pada kejadian obesitas. Selain asupan makanan, kurangnya aktivitas fisik selama di rumah khususnya selama pandemi COVID-19 juga dapat menyebabkan lemak semakin menumpuk.
Mereka dengan obesitas, menurut studi yang melibatkan karyawan, memiliki tingkat produktivitas yang berbeda jauh dengan orang dengan IMT normal. Mereka ini sering izin karena sakit.
“Banyak yang usia muda terkaget-kaget. Dia datang (ke dokter) mau mengatur makan, ternyata dia sudah prediabetes atau diabetes yang kalau ditelusur karena pola hidup (tak sehat yang juga salah satunya memicu obesitas,” kata Marya.
Oleh karena itu, Marya menekankan orang-orang termasuk kaum muda mencegah terkena obesitas, yakni melalui pengaturan keseimbangan energi dalam tubuh. Upaya ini bisa dimulai dari mengetahui status gizi, mengatur pola tidur atau istirahat yang cukup, menerapkan pola aktivitas fisik yang kontinu dengan intensitas rendah sampai sedang serta mengatur pola emosi makan karena kebiasaan makan dengan jumlah berlebih dan cenderung memilih jenis makanan tidak sehat seperti tinggi gula, garam, dan lemak disebabkan oleh emosi.
Khusus pola makan, sebaiknya perhatikan jumlah, jenis, jadwal makan, dan pengolahan bahan makanan yang dianjurkan, yaitu jumlah sayur sebesar 2 kali lipat jumlah sumber karbohidrat dan protein.
Di sisi lain, Marya juga menganjurkan orang-orang memerhatikan label kemasan sebelum makan guna membatasi asupan gula, garam, lemak yang ada di makanan dan minuman. Hal ini meningkatkan kesadaran pada jumlah gula, garam dan lemak yang dikonsumsi setiap harinya. Label kemasan setidaknya memuat empat informasi nilai gizi yaitu jumlah sajian per kemasan, energi total per sajian, zat gizi (lemak, lemak jenuh, protein, karbohidrat (termasuk gula)) dan persentase AKG (Angka Kecukupan Gizi) per sajian.
“Anak muda perlu melakukan pengelolaan ini sedini mungkin agar dapat melawan obesitas,” kata dia.
Senada dengan Marya, Direktur Standardisasi Pangan Olahan Badan POM Anisyah, S.Si., Apt., MP., mengatakan, cermat membaca label kemasan dan menjadikannya sebagai kebiasaan, memungkinkan masyarakat lebih cerdas untuk memilah zat gizi apa yang harus dipenuhi dan yang harus dibatasi agar terhindar dari berbagai penyakit, salah satunya obesitas.
Di sisi lain, upaya mencegah dan mengendalikan obesitas juga membutuhkan berbagai dukungan termasuk pemerintah melalui penyediaan fasilitas kesehatan misalnya untuk skrining usia di atas 15 tahun terkait obesitas hingga kawasan ruang terbuka hijau yang dapat dipergunakan masyarakat melakukan aktivitas fisik.
Tak sampai di sana, berbagi pengalaman terkait obesitas juga dianggap berperan dalam pencegahan dan pengendalian penyakit itu. Marya mengatakan, kaum muda sebenarnya sudah paham mengenai obesitas baik itu risiko maupun upaya pencegahannya, namun cenderung kurang termotivasi.
Pengalaman seorang health influencer yang mendalami ilmu nutrisi dengan mengambil sertifikasi sport nutritionist yang diadakan oleh International Fitness Association, Marcellino Indrawan mungkin bisa menjadi sarana memotivasi kaum muda agar lebih sehat.
Peraih The New L-Men of The Year 2021 itu mampu menurunkan berat badan dari 89 kilogram pada awal 2021 menjadi 75 kilogram saat ini dan disertai dengan peningkatan massa otot. Upaya yang dia lakukan yakni menjaga asupan nutrisi seimbang, membatasi asupan gula, garam, dan lemak, aktif berolahraga, dan beristirahat cukup.
Dia meyakini menjalankan gaya hidup sehat sejak usia muda termasuk investasi jangka panjang yang sangat berharga. Kini, pria yang akrab disapa Nino itu merasakan manfaat menerapkan gaya hidup sehatnya mulai dari fisik terasa lebih fit, performa lebih optimal dan produktif dalam beraktivitas dan hidup terasa lebih berkualitas.
Selain perilaku hidup sehat, menurut Nino, pengetahuan yang tepat dan disiplin diri merupakan kunci untuk membangun konsistensi gaya hidup sehat dan melawan risiko obesitas sejak muda.
Nino juga menularkan semangat gaya hidup sehat pada keluarga dan teman-temannya antara lain dengan memanfaatkan media sosial. Beberapa tahun lalu, dia juga mendirikan komunitas Bhumi Satoe di Yogyakarta, sebagai sebuah support system untuk membangun gaya hidup sehat.(ara/Reno)