Jurnalindo.com, – Para pakar menilai bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) sedang berupaya mengamankan pengaruh politiknya dalam pemerintahan presiden terpilih periode 2024-2029, Prabowo Subianto, dengan mengeluarkan kebijakan strategis menjelang akhir masa jabatannya. Langkah ini dianggap sebagai upaya untuk mempertahankan kekuatan politik di tengah masa transisi pemerintahan.
Salah satu kebijakan yang menjadi sorotan adalah tawaran wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan, serta sejumlah perombakan kabinet meskipun masa jabatan Jokowi hanya tersisa beberapa bulan.
Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP-BRIN), Aisah Putri Budiatri, menilai bahwa kebijakan-kebijakan ini dimaksudkan untuk menjaga pengaruh politik Jokowi, tidak hanya saat ini tetapi juga di masa depan. Ini termasuk upaya untuk memastikan posisi politik Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, yang baru saja terpilih sebagai Wakil Presiden.
“Jokowi setidaknya harus mampu menjaga pengaruh politiknya tidak hanya untuk saat ini tetapi juga ke depannya, termasuk untuk menjaga posisi politik Gibran sebagai wapres,” jelas Aisah.
Aisah menambahkan bahwa keputusan politik Jokowi ini, secara langsung atau tidak langsung, bertujuan untuk mengikat pengaruh ke partai-partai pendukung Prabowo dan ormas.
Sejalan dengan pandangan ini, pengamat politik dari Citra Institute, Efriza, melihat bahwa sejumlah kebijakan yang dikeluarkan Jokowi tampak seperti upaya untuk membagi kekuasaan atau jabatan. Efriza menilai langkah ini diambil Jokowi karena menyadari bahwa pengaruh politiknya semakin menurun, fenomena yang dikenal sebagai “lame duck” (bebek lumpuh).
Namun, Efriza mengkritik bahwa kebijakan Jokowi tersebut tidak pro kepada rakyat, melainkan lebih menunjukkan keberpihakan kepada pengusaha dan elite politik. “Kebijakan Jokowi malah tidak pro kepada rakyat, hanya menunjukkan pro kepada pengusaha, elite-elite politik, kebijakan balas jasa, maupun kebijakan sekadar pencitraan positif atas sepuluh tahun memerintah semata,” jelas Efriza.
Contoh kebijakan yang dianggap kontroversial adalah Tapera, yang dikeluarkan menjelang akhir masa jabatan Jokowi, serta wacana asuransi kendaraan bermotor. Menurut Efriza, kebijakan-kebijakan ini lebih menunjukkan kekhawatiran Jokowi terhadap pandangan elite penguasa daripada kesejahteraan rakyat biasa.
Dengan semakin mendekati akhir masa jabatannya, Jokowi tampak lebih fokus pada strategi untuk mempertahankan pengaruh politiknya setelah lengser dari jabatan presiden pada 20 Oktober nanti. (Bisnis.com/Nada)