Jurnalindo.com, – Calon Presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto, tidak hanya meraih perhatian melalui hasil survei yang menempatkannya di urutan 1, tetapi juga melalui fenomena “gemoy” yang kini melekat padanya. Dalam pidatonya saat acara Konsolidasi Pemenangan Prabowo-Gibran, Prabowo bercerita tentang dampak langsung dari branding “gemoy” yang melekat pada dirinya, bahkan sampai-sampai membuat beberapa ibu-ibu memiliki keinginan untuk mencubitnya saat bertemu.
Prabowo memulai pidatonya dengan membahas hasil survei yang menempatkannya di posisi teratas, namun menegaskan bahwa dirinya dan calon wakil presidennya, Gibran Rakabuming Raka, tidak hanya mengandalkan survei semata.
“Mas Gibran dan saya dalam beberapa hari ini kita telah terjun ke banyak daerah ke banyak titik dan di situ saya merasakan getaran rakyat kita. Saya merasakan harapan rakyat kita, saya melihat mata mereka saya melihat antusiasme rakyat kita,” tutur Prabowo pada Minggu (10/12).
Menurutnya, masyarakat selalu ingin dekat dengan pemimpinnya, dan saat berkunjung ke berbagai daerah, Prabowo merasakan sendiri antusiasme dan harapan rakyat. Bahkan, dalam suasana yang penuh kehangatan, Prabowo mengungkapkan pengalamannya ketika beberapa ibu-ibu ingin menyentuhnya dan ada yang sampai mencubitnya.
“Saya merasakan tangan mereka sangat keras terutama emak-emak itu. Kalau sudah pegang tidak mau dilepas, apalagi ada sekarang ini fenomena gemoy-gemoy itu loh. Ada emak-emak yang cubit pipi saya, sakit lagi,” ujar Prabowo sambil tersenyum.
Namun, perlakuan akrab masyarakat ini tidak membuat Prabowo kesal. Sebaliknya, ia menganggapnya sebagai bagian dari demokrasi yang memperlihatkan antusiasme rakyat untuk dekat dengan pemimpinnya.
“Inilah demokrasi rakyat ingin menyentuh pemimpin-pemimpin, saudara-saudara. Dan saya merasa bahagia, saya tidak merasa tua saat di tengah rakyat Indonesia,” pungkasnya.
Dengan sentuhan kehangatan dan interaksi akrab ini, Prabowo Subianto menunjukkan bahwa hubungan yang dekat antara pemimpin dan rakyat adalah bagian yang tak terpisahkan dari dinamika demokrasi Indonesia. (Kumparan/Nada)