JurnalIndo.com – Kontroversi baru muncul di tengah jagat politik Indonesia. Kali ini, tim kampanye Prabowo-Gibran bersitegang dengan Timnas AMIN terkait istilah ‘slepet’ yang diusung oleh Cawapres nomor urut 1, Muhaimin Iskandar atau yang akrab disapa Cak Imin. Perseteruan ini berkembang setelah Cak Imin berupaya mengganti istilah ‘revolusi mental’ dengan ‘slepet’, yang disampaikannya saat berpidato di GOR Jatidiri, Semarang, pada Minggu (24/12/2023).
Dalam penjelasannya, Cak Imin berpendapat bahwa istilah ‘revolusi mental’ cenderung mengganggu dan agak kacau, mengingat program tersebut dinilainya belum berhasil maksimal dalam penerapannya selama hampir 10 tahun terakhir. Oleh karena itu, dia memilih istilah ‘slepet’ agar pesannya lebih mudah dipahami dan diresapi oleh masyarakat, dengan harapan akan memberantas berbagai permasalahan yang ada. dilansir dari detik.com
Respon tajam datang dari pihak TKN Prabowo-Gibran yang menganggap istilah ‘slepet’ sebagai sindiran atau olok-olok semata. Habiburokhman, Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran, mengemukakan keraguan terhadap konsep ‘slepet’ yang diusung Cak Imin. Ia mempertanyakan kejelasan definisi ‘slepet’ yang dinilainya seolah-olah hanya menjadi bahan candaan semata.
Menurut Habiburokhman, konsep ‘slepet’ yang diusung Cak Imin dan Anies Baswedan mencerminkan pemikiran yang menganjurkan tindakan kekerasan. Ia mencontohkan bahwa sarung, yang seharusnya digunakan untuk beribadah, digambarkan digunakan untuk tujuan kekerasan, suatu representasi yang dianggapnya tidak pantas.
Dalam mengomentari pernyataan TKN Prabowo-Gibran, Jazilul Fawaid dari Timnas AMIN memberikan bantahan tegas. Ia menegaskan bahwa ‘slepet’ sejatinya merupakan istilah yang berasal dari lingkungan pesantren dan bahasa rakyat kecil, bukanlah bahan olok-olokan.
Jazilul juga menyoroti kekeroposan dalam penerapan ‘revolusi mental’, dengan merujuk pada penurunan indeks demokrasi dan munculnya kembali perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Menurutnya, istilah ‘slepet’ yang diperkenalkan oleh Cak Imin merupakan upaya untuk menghormati bahasa yang lebih sederhana, agar dapat dipahami oleh lapisan masyarakat yang lebih luas.
Kontroversi ini tidak hanya sekadar polemik antar-istilah dalam kampanye politik, tetapi juga menunjukkan pentingnya pemahaman yang tepat atas konteks serta makna dari setiap istilah yang digunakan dalam ranah publik. Kesejajaran komunikasi dan penggunaan istilah yang tepat merupakan kunci untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman di antara berbagai pihak yang terlibat dalam dialog politik.
Jurnal/Mas