Opini  

Muktamar NU Dipercepat, Gus Penyok: Generasi Muda Harus Jadi Penyejuk dan Penggerak Konsolidasi Jam’iyah

Jurnalindo.com, Jakarta – Keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk mempercepat pelaksanaan Muktamar ke-35 NU dinilai sebagai langkah krusial untuk menjaga kohesi organisasi di tengah dinamika internal yang mengemuka. Muktamar, sebagai forum tertinggi jam’iyah, tidak hanya dipahami sebagai agenda struktural lima tahunan, tetapi juga sebagai ruang penentuan arah ideologis dan strategi gerak NU ke depan.

Pandangan itu disampaikan Achmad Saifuddin, aktivis NU muda yang akrab disapa Gus Penyok. Ia menekankan bahwa percepatan Muktamar harus diletakkan pada kerangka substansi dan kematangan organisasi, bukan semata percepatan administratif.

“Percepatan Muktamar harus menjadi jalan penyelesaian yang bermartabat. NU besar karena tradisi musyawarah dan kebijaksanaan ulama, bukan karena tarik-menarik kepentingan,” ujar Gus Penyok, Kamis (25/12).

Keputusan percepatan Muktamar diambil melalui rapat konsultasi Syuriyah dan Mustasyar PBNU di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Forum tersebut melibatkan Rais ‘Aam PBNU, Ketua Umum PBNU, para Mustasyar, serta sesepuh NU, dan menyepakati bahwa Muktamar akan digelar dalam waktu secepat-cepatnya dengan tetap berpegang pada mekanisme konstitusional sesuai AD/ART NU.

Menurut Gus Penyok, kesepakatan tersebut mencerminkan pilihan NU untuk menempuh jalur islah dan persatuan. Namun, ia mengingatkan bahwa keberhasilan Muktamar tidak hanya ditentukan oleh elite struktural, melainkan juga oleh keterlibatan aktif seluruh elemen jam’iyah terutama generasi muda.

“Pemuda NU tidak boleh pasif. Kami harus hadir sebagai penyejuk, jembatan antar generasi, dan pengawal nilai Ahlussunnah wal Jamaah agar NU tetap relevan di tengah perubahan zaman,” tegasnya.

Ia menilai generasi muda NU berada pada posisi strategis karena hidup di persimpangan tradisi pesantren dan realitas sosial modern. Karena itu, Muktamar harus memberi ruang yang cukup bagi gagasan-gagasan baru, termasuk transformasi tata kelola organisasi, penguatan literasi digital, serta peran NU dalam merawat kebangsaan.

“Tantangan NU ke depan tidak ringan polarisasi sosial, disrupsi digital, hingga krisis kepercayaan publik. Semua itu menuntut NU tampil adaptif tanpa kehilangan jati diri,” ujarnya.

Gus Penyok juga menyoroti pentingnya etika komunikasi publik menjelang Muktamar. Ia mengingatkan bahwa perbedaan pandangan merupakan tradisi intelektual NU, namun harus dikelola dengan adab agar tidak mencederai marwah organisasi.

“Perbedaan adalah keniscayaan. Tapi jika disampaikan tanpa etika, ia bisa menjadi luka kolektif. Di sinilah peran moral para kiai dan tanggung jawab kader muda diuji,” katanya.

Hingga kini, PBNU belum mengumumkan secara resmi waktu dan lokasi pelaksanaan Muktamar ke-35 NU. Meski demikian, kesepakatan untuk mempercepat forum tersebut dipandang sebagai momentum penting untuk menutup polemik internal dan mengembalikan fokus NU pada agenda besar keumatan dan kebangsaan.

Bagi Gus Penyok, Muktamar bukan semata soal pergantian kepemimpinan.
“Muktamar adalah penentu arah. Jika dijalankan secara terbuka, tulus, dan berorientasi maslahat, NU akan tetap menjadi rumah besar yang teduh bagi umat dan bangsa,” pungkasnya. (Nada/Jurnalindo.com)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *