jurnalindo.com – Menafkahi anak sudah menjadi kewajiban tentunya bagi orang tua. Karena anak yang masih mempunya orang tua lengkap yaitu ayah dan ibu, maka kewajiban untuk memenuhi kebutuhan jatuh pada orang tua tersebut. Khususnya kepada sang ayah.
Sebagaimana pernyataan dari Imam Nawawi yaitu nafkah dari seorang anak yang mempunyai ibu dan ayah adalah tanggungan ayah dari anak. Namun jika seorang anak tersebut tidak memiliki ayah, maka tanggungan nafkahnya jatuh kepada sang kakek atau ayah dari ayah kandung seorang anak tersebut.
Jika ayah tidak menafkahi anak maka hukumnya berdosa, karena telah menyia-nyiakan orang-orang yang memang seharusnya ia nafkahi. Namun sebaliknya pahala menafkahi anak bagi ayah juga luar biasa.
Dalil Ayah Memberi Nafkah Anak
Ada syarat seorang ayah wajib memberi nafkah kepada anaknya. Adapun syarat bagi seorang ayah atau bapak dalam menafkahi anaknya ialah mampu secara finansialnya.
Finansial milik ayahnya stabil. Dapat kita lihat dari parameter berikut ini, yaitu adanya sisa harta yang dimiliki setelah kebutuhannya terpenuhi. Maksud dari kebutuhan itu adalah memenuhi kebutuhan dirinya sendiri (ayah) dan kebutuhan istrinya. Maka dapat kita katakan secara finansial mampu.
1. Q.S Al Baqarah [2] Ayat 233
Menafkahi anak juga telah tertuang dalam sebuah dalil di kitab suci al quran tepatnya ayat 233 surah Al – Baqarah. Dalah dalil tersebut mengandung arti “dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut” (QS. Al-Baqarah [2]: 233).
Terdapat dua tafsir yang dapat kita ambil dari ayat tersebut. Pertama ialah tafsir dari Imam Ibnu Katsir. Beliau menafsirkan dalil tersebut dengan kata ma’ruf atau cara yang patut.
Tafsiran ini dapat kita simpulkan bahwa seorang ayah dapat memberi nafkah kepada anaknya sesuai dengan kemampuannya. Pemberian nafkah dengan memcukupi kebutuhan anak secara wajah tidak berlebihan sesuai dengan apa yang ayahnya mampu berikan. Bisa dikatakan sepantasnya atau sepatutnya.
Sedangkan tafsiran menurut Imam Al Qurthubi banyak kita kenal dengan tafsoran ‘urf atau berarti tradisi. Maksudnya dari tafsiran ini yaitu ayah harus memberikan nafkah kepada anak dengan cukup. Maksud cukup yaitu tidak kekurangan maupun kelebihan.
2. Q.S Ath Thalaq [65] Ayat 6
Selain dalil di atas ada pula firman allah yang tertuang dalam Qur’an surah Ath Thalaq nomor surat 65 ayat 6. Dalil tersebut memiliki arti bahwa “kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu maka berikanlah upahnya kepada mereka”
Maksud dari ayat tersebut di atas berdasarkan tafsiran Syekh Al Khathib Asy Syirbini mengenai upah menyusukan anak-anak. Konsekuensi dari wajibnya memberi upah menyusukan ana-anaknya yakni memenuhi kebutuhan mereka. Membiayai segala kebutuhannya.
Beberapa Syarat Anak Wajib Mendapatkan Nafkah
Ada beberapa syarat wajibnya menafkahi anak berdasarkanpemaparan Syekh Taqiyuddin Al Husaini. Beberapa syarat wajib yang beliau paparkan untuk memberi nafkah kepada anak ketika memiliki satu dari tiga sifat ini. Tiga sifat tersebut ialah sebagai berikut:
- Anak yang dalam keadaan fakir dan belum baligh
- Seorang Anak yang Fakir dan lumpuh
- Anak yang Fakir dan dalam kondisi gila atau gangguan kejiwaan
Pada tiga syarat sifat di atas ditekankan bahwa sang anak dalam keadaan fakir. Karena jika sang anak mampu dalam hal finansial atau harta, maka tidak wajib bagi orang tua untuk menafkahinya.
Hal tersebut tetap berlaku walaupun seorang anak itu dalam keadaan sakit parah seperti mengalami kelumpuhan maupun penyakit stroke. Penyakit gangguan jiwa atau keadaan gila pun juga berlaku dalam hal ini.
Apabila seorang anak telah akil baligh serta memiliki sudah pekerjaan, maka orang tua tidak wajib menafkahi.
Jika anak dalam keadaan sehat dan kuat untukbekerja namun belum memiliki pekerjaan, maka masih termasuk dalam kewajiban orang tua untuk memberikan nafkah. Pendapat tersebut berdasarkan penuturan dari Imam Rafi’I bahwa tetap wajib memberi nafkah.
Sementara itu jika berdasarkan penuturan yang shahih dari mazhab Syafii menerangkan hal lain. Seorang anak sudah tidak wajib menerima nafkah dari orang tua kecuali satu hal. Pengecualian tersebut yaitu jika masih dalam kegiatan menempuh study atau mencari ilmu.
Jadi seorang ayah wajib memberikan nafkah pada anaknya sebagai bentuk memenuhi kewajibannya. Jika tidak melakukannya maka ayah dianggap lalai dengan kewajibannya. Sebagaimana yang tertuang pada riwayat hadiz Abu Daud. Menjelaskan mengenai hadizt ayah tidak menafkahi anaknya dan hendak meninggalkannya pergi tanpa memberi nafkah.
Kadar Pemberian Nafkah
Kadar nafkah yang ayah berikan kepada anak mengikuti dengan sejauh mana kemampuan finansial dari ayah. Selain itu juga sesuaikan dengan apa saja kebutuhan yang sang anak perlukan. Tentu kebutuhan anak akan berubah-ubah sesuai dengan usianya. Baik kebutuhan pokok maupun hal-hal pendamping lainnya.
Misalnya saja pemberian nafkah berupa makanan. Maka jenis makanan dan minuman tersebut kita sesuaikan dengan makanan kesukaan atau kegemaran dari sang anak. Tidak lupa juga untuk mengutamakan kandungan gizi untuk menunjang perkembangan dan pertumbuhan anak.
Makanan yang layak dan bergizi akan membuat anak menjadi sehat dan penuh energi. Harapannya dengan kondisi tersebut sang anak mampu melakukan berbagai aktivitasnya dalam keseharian. Sehingga anak juga tidak mudah jatuh sakit
Selain kebutuhan makanan yang harus terpenuhi, ayah juga berkewajiban untuk menafkahi anak berupa sandang atau pakaian. Pakaian yang diberikan harus berupa pakaian layak pakai sesuai dengan usia anak.
Jika anak laki-laki maka bisa kita berikan sebagaimana berpakaian laki-laki seusia anak tersebut. Begitu pula untuk anak perempuan, maka diberikan pakaian sesuai dengan usia sang anak perempuan tersebut.
Wajib pula bagi ayah untuk menyediakan tempat tinggal sebagai tempat berteduh dan tinggal bagi anak dengan layak. Memberikan anggaran biaya untuk kesehatannya jika sang anak mengalami suatu hal dan harus membutuhkan penanganan kesehatan. Baik penanganan dokter maupun obat-obatan.
Kesimpulan Kewajiban Ayah Menafkahi Anak
Menafkahi anak menjadi kewajiban bagi seorang ayah. Selama sang anak masih belum baligh, dalam keadaan lumpuh atau gangguan jiwa (gila), juga jika dalam keadaan fakir. Fakir ini mengarah pada maksud bahwa tidak memiliki uang atau harta dan juga tidak memiliki pekerjaan.
Jika sang anak telah melampaui batas balighnya, kemudian memiliki pekerjaan sendiri untuk memenuhi kebutuhannya, maka ayah sudah tidak wajib lagi untuk menafkahi anak tersebut. Di sinilah sejatinya telah usai kewajiban seorang ayah untuk menafkahi anaknya.
Namun ayah masih memiliki kewajiban menafkahi anak walaupun sudah baligh jika ia sedang dalam masa menempuh suatu jenjang pendidikan. Karena hukumnya dosa ayah yang tidak menafkahi anaknya.
Pemenuhan kebutuhan sebagai kewajiban ayah menafkahi anak termasuk pada kebutuhan makanannya, pakaiannya, rumah atau tempat tinggal hingga biaya kesehatannya. Semua kebutuhan tersebut disesuaikan dengan sang anak dan juga batas kemampuan ayah.












