Wacana Pertemuan Megawati-Jokowi: Silaturahmi Politik di Tengah Bisingnya Polemik

Pertemuan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP, menjadi sorotan media dan publik. (Sumber foto : Jambi one)
Pertemuan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP, menjadi sorotan media dan publik. (Sumber foto : Jambi one)

Jurnalindo.com, – Wacana pertemuan antara Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri, dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menjadi sorotan utama dalam ranah politik Tanah Air. Calon wakil presiden nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, menyoroti pentingnya silaturahmi politik tersebut, khususnya dalam suasana yang penuh makna seperti Lebaran.

Gibran menegaskan bahwa silaturahmi merupakan hal yang seharusnya tidak dilarang, terlebih lagi dalam momen suci seperti Lebaran. Dalam pandangannya, pertemuan antara Mega dan Jokowi tidak hanya akan mempererat hubungan politik di antara keduanya, tetapi juga akan mendatangkan kegembiraan bagi warga dan kader PDIP.

Namun, pernyataan Gibran ini direspons oleh Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, yang menegaskan bahwa sikapnya hanya mencerminkan aspirasi dari para kader PDIP. Hasto menegaskan bahwa tidak ada pertemuan yang diizinkan antara Mega dan Jokowi usai Lebaran, berdasarkan pesan dari kader di basis-basis akar rumput partai.

Sorotan terhadap wacana pertemuan ini semakin memanas ketika Hasto mengklaim bahwa tidak ada kegembiraan di kalangan kader PDIP terhadap sikap Jokowi dalam Pilpres 2024. Sikap Jokowi yang mendukung Gibran sebagai calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto di Pilpres tersebut, kontras dengan dukungan PDIP yang mengusung Ganjar Pranowo sebagai kandidat presiden.

Wacana pertemuan antara Mega dan Jokowi pertama kali muncul dari pihak Istana Kepresidenan, yang menyatakan keterbukaan Presiden Jokowi untuk bersilaturahmi dengan siapa saja, termasuk Megawati. Namun, respons dari Hasto menunjukkan bahwa hubungan antara Mega dan Jokowi diwarnai oleh dinamika politik pasca-Pemilu 2024, yang dianggapnya telah mengkhianati prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum.

Meskipun demikian, wacana ini memberikan gambaran tentang kompleksitas politik di Indonesia, di mana silaturahmi politik menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dinamika kekuasaan. Sementara itu, pandangan dan respons dari berbagai pihak menyoroti kompleksitas dan ketegangan dalam perspektif politik yang ada, yang akan terus memengaruhi arah dan kebijakan politik di masa mendatang. (Tempo/Nada)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *