Oleh : Abdul Muhid (Ketua Tim Instruktur PC Ansor Kab. Pati)
JurnalIndo.com – Di banyak kampung dan desa, masyarakat masih sangat menggantungkan arah hidupnya pada sosok-sosok yang dianggap memiliki ilmu dan kedudukan spiritual. Seperti tokoh agama, ustadz, kyai, guru thariqah, atau pemimpin yayasan keagamaan, sering mendapat tempat istimewa dalam ruang batin dan sosial masyarakat. Mereka didengarkan, dihormati, bahkan diikuti tanpa banyak tanya. Namun, bagaimana jika figur yang telah ditokohkan itu ternyata menyimpan cacat moral yang tersembunyi atau bahkan sudah terang-terangan?
Realitas Sosial yang Mengusik Nurani
Sudah jama’ lumrah, seorang tokoh dikenal luas karena sering berceramah, memimpin ormas, mendirikan yayasan, bahkan menjadi guru thariqah. Namanya harum, figurnya dikenal, dan ucapannya seolah menjadi fatwa tak tertulis di masyarakat. Namun realitas akhir-akhir ini, sering kita menjumpai tokoh atau figur yang perilaku pribadinya justru tidak sejalan dengan apa yang ia dakwahkan. Ia melakukan tindakan amoral, menyulut kontroversi, dan terlibat dalam dinamika sosial yang menimbulkan keresahan. Namun karena masyarakat sudah terlanjur menganggapnya sebagai panutan, figur tersebut tetap ditokohkan tanpa koreksi yang memadai.
Inilah titik rawan yang jarang disadari: saat masyarakat awam tidak memiliki referensi lain atau terlalu takut untuk mengkritisi tokoh, maka pemakluman terhadap penyimpangan pun menjadi norma baru. Dalam jangka panjang, ini bisa menyebabkan dekadensi moral kolektif, di mana standar akhlak menjadi kabur, dan nilai kebenaran digantikan oleh kepatuhan semu pada simbol-simbol keagamaan.
Saatnya Masyarakat Cerdas Memilih Panutan
Menjadi tokoh agama sejati tidak cukup hanya menguasai teks atau fasih dalam berdakwah. Ia harus menjadi cerminan nyata dari nilai-nilai yang ia sampaikan. Dalam Islam, panutan yang sejati disebut sebagai uswah hasanah (teladan yang baik). Allah SWT sendiri menegaskan dalam Al-Qur’an:
“Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu…”
(QS. Al-Ahzab: 21)
Masyarakat perlu dididik untuk membedakan antara simbol dan substansi, antara gelar dan akhlak, antara sorban dan perbuatan. Dalam memilih tokoh panutan, masyarakat tidak boleh hanya menilai dari penampilan lahir, tetapi harus memperhatikan empat hal:
- Akhlak dan integritas pribadi.
- Konsistensi antara ucapan dan perbuatan.
- Transparansi dan tanggung jawab sosial.
- Kepekaan terhadap aspirasi dan kebutuhan umat.
Ciri Ulama yang Menjadi Uswah Hasanah
Ulama yang benar-benar layak diteladani memiliki sifat-sifat yang sejalan dengan para pewaris Nabi. Di antara ciri-cirinya adalah :
- Tawadhu’ (rendah hati): Tidak mencari popularitas atau kekuasaan.
- Ikhlas dalam mengajar dan membimbing umat.
- Menjaga kehormatan diri dan keluarganya dari fitnah dunia.
- Tidak menjadikan agama sebagai alat dagang atau alat politik.
- Konsisten dalam ibadah dan kedekatan kepada Allah.
- Berani berkata benar walaupun pahit.
Imam Al-Ghazali menyebut bahwa ulama yang sejati adalah mereka yang mengutamakan akhirat, tidak menjual fatwa untuk kepentingan duniawi, dan selalu menjaga amanah ilmu.
Mengenal Ciri Ulama Su’: Pewaris Ilmu yang Menyesatkan
Sebaliknya, dalam sejarah Islam juga dikenal istilah ulama su’ (ulama yang buruk). Mereka adalah orang-orang yang punya ilmu agama, tetapi menyalahgunakannya demi kepentingan pribadi. Nabi Muhammad SAW memperingatkan umatnya terhadap bahaya ulama su’ :
“Yang paling aku takutkan atas umatku adalah setiap munafik yang pandai bicara.”
(HR. Ahmad)
Ciri-ciri ulama su’ di antaranya:
- Mengatakan yang tidak ia kerjakan.
- Menggunakan agama untuk mencari pengaruh atau kekayaan.
- Bersikap otoriter dan anti-kritik.
- Suka mengkafirkan atau membid’ahkan pihak yang berbeda.
- Menutupi keburukan diri dengan citra keagamaan.
- Melakukan tindakan amoral, namun merasa tidak bersalah.
Ulama seperti ini, jika tidak diingatkan, bisa menjadi perusak nilai-nilai agama dari dalam. Maka masyarakat harus waspada, karena bahayanya lebih besar dari sekadar kemunafikan biasa : ia merusak kepercayaan umat terhadap agama itu sendiri.
Bagaimana Sikap Masyarakat?
Dalam kondisi seperti ini, masyarakat tidak boleh tinggal diam. Berikut beberapa sikap yang perlu diambil:
- Berani Menilai dengan Cerdas ; Menilai tokoh bukanlah bentuk dosa. Justru dalam konteks sosial, umat perlu kritis dan rasional. Penilaian harus berdasar pada akhlak, bukan sekadar penampilan.
- Memberi Nasihat secara Bijak ; Jika memungkinkan, tokoh tersebut diingatkan dengan cara yang baik. Bisa melalui tokoh lain yang disegani, atau melalui pendekatan yang persuasif. Dalam Islam, amar ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban bersama, termasuk kepada tokoh agama.
- Membatasi Pengaruh Sosialnya; Bila tokoh tersebut menolak berubah dan terus menyesatkan umat, maka masyarakat harus berani membatasi perannya. Tidak harus memusuhi, tapi cukup dengan tidak memberikan panggung, tidak mengikuti ceramahnya, dan tidak menjadikannya rujukan.
- Membangun Tokoh Alternatif yang Kredibel; Carilah figur baru yang lebih kredibel dan bersih secara moral. Dorong para pemuda santri, kader dakwah, atau tokoh lokal yang amanah untuk mengambil peran. Masyarakat yang sehat harus memberi ruang regenerasi moral.
- Perkuat Literasi Moral dan Keagamaan; Lakukan pengajian, diskusi, dan kajian rutin tentang akhlak dan adab. Semakin luas pemahaman masyarakat, semakin kecil peluang tokoh menyimpang untuk menguasai opini.
Keselamatan Umat Ada di Tangan Kesadaran Kolektif
Tidak semua yang berjubah adalah mulia, dan tidak semua yang berceramah adalah tulus. Dalam dunia yang semakin kompleks ini, masyarakat tidak bisa lagi bertahan dengan pola pikir “asal tokoh”. Diperlukan ketegasan moral dan kecerdasan sosial untuk menjaga agama tetap suci, dan umat tetap terarah.
Maka, jika seorang tokoh telah menunjukkan cacat moral secara terang-terangan, dan tak kunjung bertobat, masyarakat berhak untuk berkata: “Engkau bukan lagi panutan kami.” Karena lebih baik kehilangan satu figur daripada kehilangan kompas moral seluruh masyarakat.