Penerimaan Pajak Tertekan, DJP Berjibaku Jaga Defisit APBN 2025 Tak Tembus 3%

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan tengah menghadapi tekanan berat seiring kinerja penerimaan pajak yang (Sumber foto : Bisnis.com)
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan tengah menghadapi tekanan berat seiring kinerja penerimaan pajak yang (Sumber foto : Bisnis.com)

Jurnalindo.com, – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan tengah menghadapi tekanan berat seiring kinerja penerimaan pajak yang jauh di bawah ekspektasi. Risiko shortfall penerimaan pajak hampir dipastikan melebar, sehingga memunculkan kekhawatiran terhadap kredibilitas pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.

Otoritas pajak dituntut mengejar penerimaan sebesar Rp2.005 triliun agar defisit APBN 2025 tidak melampaui batas aman 3% terhadap produk domestik bruto (PDB). Jika target tersebut gagal dicapai, APBN yang dalam hampir empat bulan terakhir dikelola Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa berpotensi kehilangan kepercayaan publik dan pasar.

Situasi ini mengingatkan pada kondisi tahun 2015 saat masa transisi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ke Joko Widodo. Kala itu, defisit APBN menembus 2,7% akibat penerimaan pajak yang hanya mencapai Rp1.055 triliun atau 81,5% dari target APBN Perubahan sebesar Rp1.294,3 triliun.

Di tengah tekanan penerimaan, kebijakan penempatan dana negara ke perbankan Himbara turut menuai sorotan. Lebih dari Rp200 triliun dana yang bersumber dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) ditempatkan pemerintah, namun hingga Oktober 2025 langkah tersebut belum mampu mendorong kinerja kredit perbankan secara signifikan. Sebaliknya, penempatan dana itu dinilai menggerus bantalan fiskal, terutama saat penerimaan pajak sedang terpuruk.

Tekanan semakin terasa mengingat DPR pada Juli 2025 telah menyetujui penggunaan SAL sebesar Rp85,6 triliun untuk menutup defisit APBN 2025 ketika Menteri Keuangan masih dijabat Sri Mulyani Indrawati. Jika tekanan berlanjut hingga akhir tahun, muncul pertanyaan apakah strategi serupa akan kembali ditempuh.

Shortfall Pajak Kian Nyata

Berdasarkan informasi yang diperoleh Bisnis, para kepala kantor wilayah DJP hanya mampu berkomitmen merealisasikan penerimaan pajak sebesar Rp1.947,2 triliun atau 93,7% dari outlook APBN 2025. Angka ini lebih rendah dibandingkan simulasi awal pemerintah yang menempatkan outlook penerimaan pajak di level Rp2.076,9 triliun.

Komitmen tersebut disampaikan dalam rapat pimpinan DJP di Bogor, Jawa Barat, Oktober 2025. Dengan batas aman defisit APBN yang mensyaratkan penerimaan minimal Rp2.005 triliun, masih terdapat selisih sekitar Rp57,8 triliun.

“Ini bukan sekadar tantangan, tetapi kondisi darurat yang menuntut kewaspadaan dari seluruh komandan di unit vertikal maupun KPDJP,” demikian maklumat Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto yang dikutip Bisnis, Senin (15/12/2025).

Sebagai tindak lanjut, DJP menetapkan sejumlah sektor prioritas untuk mendongkrak penerimaan, mulai dari industri kelapa sawit, pertambangan batu bara, hingga kelompok wajib pajak orang kaya. Meski demikian, Bimo enggan memerinci strategi detail pencapaian target tersebut dan menyerahkan penjelasan kepada Direktur Pelayanan, Penyuluhan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli.

Rosmauli menegaskan bahwa target penerimaan dan langkah pengawasan wajib pajak dilaksanakan sesuai ketentuan APBN. “Penguatan monitoring dan pengendalian risiko dilakukan secara rutin terhadap seluruh sektor untuk memastikan penerimaan negara dikelola secara akuntabel dan profesional,” ujarnya.

Janji Menkeu dan Upaya Kolaborasi

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan pemerintah akan mengoptimalkan seluruh potensi penerimaan negara hingga akhir tahun, yang tersisa sekitar 20 hari sebelum tutup buku. Ia mengklaim defisit APBN masih dalam batas aman.

“Kami akan optimalkan, harusnya sampai akhir tahun defisitnya masih aman,” ujar Purbaya usai ditemui di Jakarta, Kamis (11/12/2025). Namun, ia tidak merinci strategi konkret untuk menutup kekurangan penerimaan pajak ratusan triliun rupiah tersebut.

Di sisi lain, Dirjen Pajak Bimo Wijayanto membuka peluang pertukaran data dengan instansi lain guna meningkatkan kepatuhan dan optimalisasi penerimaan. Ia mengakui, ketentuan kerahasiaan data wajib pajak dalam Pasal 34 UU KUP masih menjadi kendala dalam kolaborasi lintas lembaga.

“Sekarang saya buka data sesuai dengan aturan,” ujar Bimo, menandai sikap lebih terbuka dalam kerja sama antarinstansi.

Opsi Pemerintah Kian Terbatas

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai pemerintah tidak memiliki banyak opsi untuk menahan defisit APBN agar tetap di bawah 3% PDB. Belanja pemerintah telah ditetapkan lebih tinggi guna mengakomodasi tambahan kebutuhan pada semester II/2025, sehingga ruang penyesuaian semakin sempit.

Hingga akhir Oktober 2025, realisasi belanja pemerintah pusat baru mencapai Rp1.879,6 triliun atau 70,6% dari outlook, sementara transfer ke daerah sebesar Rp713,4 triliun atau 82,6%. Dengan kondisi tersebut, Yusuf menilai kunci pengendalian defisit berada pada sisi penerimaan pajak.

“Peluangnya ada meskipun sangat kecil. Yang penting adalah memastikan pelaporan pajak dilakukan secara benar dan tepat, sehingga intensifikasi pajak menjadi kunci,” ujar Yusuf, Minggu (14/12/2025).

Opsi lain berupa penundaan belanja dinilai berisiko menekan pertumbuhan ekonomi. Belanja pemerintah sempat terkontraksi pada kuartal II/2025 dan baru kembali tumbuh positif pada kuartal III/2025. “Secara natural, penundaan belanja seharusnya tidak dilakukan pemerintah, terutama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di akhir tahun,” pungkas Yusuf.

Dengan waktu yang semakin sempit, tekanan terhadap DJP dan Kementerian Keuangan kian besar. Keberhasilan atau kegagalan mengamankan penerimaan pajak hingga akhir 2025 akan menjadi penentu utama arah defisit dan stabilitas fiskal nasional. (Bisnis.com/Nada)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *