Maraknya PHK dan Lemahnya Strategi Staffing di Indonesia

Oleh: Muh Agil Nuruz Zaman (Mahasiswa PPIM UI)

Jurnalindo.com, – Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia kembali dihadapkan pada gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor industri, mulai dari manufaktur, ritel, hingga perusahaan rintisan berbasis teknologi. Ribuan pekerja kehilangan pekerjaan dalam waktu singkat, sering kali tanpa kompensasi yang memadai, dan lebih buruknya, tanpa strategi transisi yang jelas.

Isu ini kerap disederhanakan sebagai akibat dari tekanan ekonomi global, perubahan perilaku konsumen, atau transformasi digital. Namun, jika ditelaah lebih dalam, maraknya PHK ini sebenarnya juga mencerminkan kegagalan organisasi dalam mengelola sumber daya manusianya secara strategis, khususnya dalam aspek strategic staffing.

Dalam konteks manajemen sumber daya manusia (MSDM), strategic staffing adalah proses perencanaan, perekrutan, pengembangan, dan retensi tenaga kerja yang selaras dengan tujuan jangka panjang organisasi. Artinya, perusahaan seharusnya memiliki proyeksi kebutuhan tenaga kerja berbasis data, memperhatikan kompetensi yang akan dibutuhkan di masa depan, serta membangun sistem kerja yang adaptif terhadap perubahan.

Sayangnya, banyak organisasi di Indonesia masih menjalankan praktik perekrutan dan manajemen karyawan secara reaktif. Ketika perusahaan tumbuh, mereka merekrut secara besar-besaran tanpa analisis mendalam. Namun saat tekanan datang, mereka juga dengan mudahnya melakukan PHK massal sebagai langkah efisiensi instan.

Praktik ini menunjukkan tidak adanya keberpihakan pada keberlanjutan tenaga kerja. Strategic staffing yang sehat tidak akan menjadikan PHK sebagai solusi pertama. Sebaliknya, organisasi seharusnya menyiapkan skenario kerja fleksibel, melakukan reskilling dan upskilling, serta membangun jalur karier alternatif bagi karyawan yang terdampak perubahan. Dengan kata lain, perusahaan harus menyesuaikan struktur organisasi dan kompetensi tenaga kerja secara dinamis, tanpa mengorbankan stabilitas sosial-ekonomi karyawannya.

Selain itu, tingginya angka PHK juga memperlihatkan kegagalan dalam merancang workforce planning jangka panjang. Banyak perusahaan mengabaikan pentingnya pemetaan kompetensi dan ketergantungan terhadap tenaga kerja kontrak jangka pendek.

Pola ini bukan hanya memperburuk ketidakamanan kerja (job insecurity), tetapi juga membuat perusahaan kehilangan modal sosial internal yang penting: loyalitas, pengetahuan organisasi, dan budaya kerja yang kuat.

Kondisi ini seharusnya menjadi alarm bagi para pelaku industri dan pembuat kebijakan. Kita tidak bisa terus-menerus mengandalkan fleksibilitas tenaga kerja sebagai penyangga ketidaksiapan organisasi dalam menghadapi krisis.

Dalam jangka panjang, pola ini akan merusak ekosistem ketenagakerjaan Indonesia dan menghambat produktivitas nasional. Apalagi, Indonesia saat ini sedang berada dalam fase bonus demografi yang seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat daya saing tenaga kerja dan memperluas lapangan kerja formal yang berkualitas.

Maka dari itu, sudah saatnya perusahaan baik swasta maupun BUMN mengintegrasikan strategic staffing ke dalam perencanaan bisnis mereka secara utuh. Ini berarti melibatkan fungsi SDM dalam pengambilan keputusan strategis, menyusun proyeksi tenaga kerja berbasis analitik, serta membangun sistem pengembangan karyawan yang terencana.

Pemerintah pun perlu mendorong regulasi yang memberi insentif bagi perusahaan yang berinvestasi dalam pengembangan SDM dan menciptakan perlindungan bagi pekerja yang rentan terdampak PHK. Berikut beberapa strategi yang dapat diterapkan oleh organisasi di Indonesia:

1. Workforce Forecasting Berbasis Data

Perusahaan perlu mengadopsi sistem peramalan kebutuhan tenaga kerja (workforce forecasting) yang berbasis data dan tren industri. Dengan menganalisis proyeksi pertumbuhan bisnis, adopsi teknologi, dan perubahan pola konsumsi, perusahaan dapat memperkirakan jumlah dan jenis keterampilan yang dibutuhkan di masa depan. Hal ini mencegah terjadinya kelebihan tenaga kerja yang tidak relevan secara kompetensi.

2. Reskilling dan Upskilling Terencana

Daripada melakukan PHK terhadap karyawan yang dianggap “tidak relevan” lagi, organisasi harus membangun program pelatihan berkelanjutan untuk meningkatkan keterampilan karyawan sesuai dengan kebutuhan masa depan. Pendekatan ini tidak hanya memperpanjang usia produktif tenaga kerja, tetapi juga meningkatkan loyalitas dan fleksibilitas organisasi dalam menghadapi perubahan.

3. Internal Mobility dan Redeployment

Alih-alih merekrut talenta baru dari luar, perusahaan perlu membangun sistem mobilitas internal yang memungkinkan karyawan berpindah lintas fungsi berdasarkan kompetensi dan potensi. Strategi redeployment ini efektif dalam mempertahankan SDM yang sudah memahami budaya dan nilai perusahaan, sekaligus menghindari PHK.

4. Pengelolaan Tenaga Kerja Fleksibel yang Bertanggung Jawab

Fleksibilitas tenaga kerja tetap penting, namun harus dikelola secara etis dan strategis. Misalnya, penggunaan tenaga kontrak sebaiknya dibarengi dengan jalur pengembangan keterampilan dan kemungkinan untuk diangkat menjadi karyawan tetap berdasarkan performa. Ini akan menciptakan sistem kerja yang adaptif sekaligus manusiawi.

5. Kolaborasi antara HR dan Strategi Bisnis

Peran fungsi SDM tidak boleh lagi sekadar administratif. HR harus dilibatkan sejak tahap awal perencanaan strategi bisnis. Dengan begitu, setiap keputusan ekspansi, transformasi digital, atau efisiensi biaya dapat dikaji juga dari sisi dampak terhadap tenaga kerja, sehingga strategi staffing bisa dirancang secara komprehensif.

PHK mungkin tak sepenuhnya dapat dihindari. Namun, ketika PHK menjadi solusi utama dan berulang, kita perlu bertanya: benarkah organisasi-organisasi kita telah menjalankan manajemen SDM secara strategis, atau hanya sekadar memadamkan api tanpa pernah membangun sistem pencegah kebakaran? (Jurnalindo)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *