jurnalindo.com – Mendidik anak autis memang membutuhkan kesabaran dan ketelatenan yang ekstra dari orang tua. Apabila tidak mempunyai kesabaran, justru orang tua akan sering marah-marah dan imbasnya anak akan menjadi takut.
anak autis, terkadang memang asik dengan dunianya sendiri. Tetapi bukan berarti dia tidak membutuhkan teman untuk bermain atau bercanda tawa. Sekalipun dia cenderung lambat dalam berkomunikasi, tetapi biasaya dia mempunyai keterampilan yang tidak dimiliki oleh anak lainnya.
Ada beberapa cara atau tips untuk mendidik anak autis ini. Tentunya, lima tips ini juga membutuhkan kesabaran dan ketelatenan dari pendidik.
1. Menyadari bahwa sanganak Autis
Orang tua harus lebih menyadari bahwa anak yang sedang dididknya itu adalah autis. Sehingga dengan begitu, orang tua tidak perlu hawatir atau membedakan dengan anak lainnya, tetapi setidaknya memberikan perhatian sedikit lebih lama dari pada anak lainnya.
2. Lebih bersabar
Kesabaran mendidik anak autis akan mendapatkan hasilnya kelak. Kesabaran ini tidak hanya sebatas dalam hal teknis pengajaran, tetapi juga membimbing bakat yang dia miliki. Kemudian apabila sudah menemukan, Pendidik bisa mengarahkan anak autis tersebut.
3. Tanamnkan Saling berbagi
Anak dengan kondisi autis bisanya memang menyendiri dan tidak suka berkumpul dengan orang lain. Karena itu, anda sebagai pendidik harus memulainya dengan mengajak berkumpul, berkomunikasi dan bercengkrama dengan orang lain. Tujuannya agar anak yang autis itu lebih bisa mengeksplorasi diri.
4. Pilah-pilih informasi.
Mendidik anak autis harus lebih bisa memilih informasi yang akan disajikan. Sehingga, tidak semua informasi nantinya bisa disajikan kepada anak yang aurtis. Sebisa mungkin berikan informasi yang berbau motivasi, penyemangat dan lain sebagainya yang dapat membangkitkan diri.
5. Jangan jadikan olokan.
Pakar autisme, Melly Budhiman, mengisahkan pernah ada seorang anak autis yang dengan diterapinya berhasil masuk sekolah reguler seperti Sekolah Menengah Kejuruan. Melly menganggap hal seperti ini adalah kemajuan bagi seorang penderita autis. Namun ternyata sang anak tersebut menjadi bahan olokkan dan bullying oleh tiga temannya. Sang anak mendapatkan tindakan kekerasan hingga gendang telinganya pecah. Akibatnya, sang anak mengalami trauma dan tak ingin kembali ke bangku sekolah.