Visum Jadi Sorotan, Kuasa Hukum Korban Tegaskan Pemeriksaan Medis Sesuai Prosedur

Jurnalindo.com, – Sidang lanjutan perkara dugaan penganiayaan dengan terdakwa Khoirul Afib kembali digelar di pengadilan pada Rabu (10/12). Dalam persidangan tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan dua orang saksi, yakni saksi korban serta saksi fakta Ami Mufidah dan Puji.

Namun, keterangan para saksi di persidangan menuai keberatan dari pihak terdakwa. Kuasa hukum Khoirul Afib, Agung Bayu Prasetyo, menilai sejumlah pernyataan saksi tidak selaras dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) maupun bukti medis berupa visum.

Menurut Agung, dalam persidangan saksi menyebut adanya benturan di bagian kepala, kerusakan helm, serta tanda-tanda kekerasan lain. Akan tetapi, klaim tersebut tidak ditemukan dalam hasil visum.

“Banyak keterangan yang tidak sesuai dengan BAP. Disebutkan ada benturan kepala dan kerusakan helm, tetapi dalam visum tidak muncul,” ujar Agung usai persidangan.

Ia menegaskan bahwa visum hanya mencatat luka ringan sedalam sekitar satu sentimeter di tangan kanan korban, tanpa adanya bukti luka berat atau benturan keras sebagaimana disampaikan saksi.

Selain itu, Agung juga menyoroti waktu pengambilan visum yang dilakukan pada tahun 2025, sementara peristiwa dugaan penganiayaan terjadi pada 2023. Meski begitu, ia menyebut hal tersebut merupakan kewenangan penyidik.

“Yang paling menonjol hanya luka di tangan. Unsur penganiayaannya tidak terlalu parah, hanya luka ringan,” tegasnya.

Sementara itu, kuasa hukum korban, Drajat Ari Wibowo, memberikan pandangan berbeda. Ia menilai tidak ada kejanggalan dalam proses visum, termasuk terkait waktu pengambilannya.

Menurut Drajat, korban telah menjalani pemeriksaan medis segera setelah kejadian pada 2023. Pemeriksaan tersebut menjadi dasar penerbitan visum berdasarkan rekam medis rumah sakit.

“Korban langsung memeriksakan diri ke dokter. Ada kwitansi dan data medis yang tersimpan di rumah sakit. Itu yang menjadi dasar visum,” jelas Drajat.

Ia menambahkan bahwa pengambilan visum oleh penyidik dapat dilakukan kapan saja setelah perkara naik ke tahap penyidikan, sehingga tidak menyalahi prosedur hukum.

“Kalau visum baru diambil tahun 2025, itu sah secara prosedural. Yang berhak mengambil visum hanya penyidik,” tegasnya.

Drajat juga menepis anggapan adanya ketidaksesuaian antara waktu kejadian dan visum, karena dokumen tersebut tetap diterbitkan dokter berdasarkan pemeriksaan awal korban.

Sidang perkara ini akan kembali dilanjutkan dengan agenda berikutnya sambil menunggu tuntutan dari JPU. Kedua belah pihak berharap proses persidangan dapat berjalan secara objektif dan transparan. (Juri/Jurnal)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *