Jurnalindo.com, – Harapan petani kacang hijau di Kabupaten Pati pupus di tengah musim tanam ketiga (MT 3) tahun ini. Akibat cuaca yang tidak bersahabat, khususnya hujan yang masih mengguyur hingga Juli, ribuan hektare lahan kacang hijau di Kecamatan Winong dan Pucakwangi mengalami gagal panen.
Suwardi, seorang petani dari Desa Bumiharjo, Kecamatan Winong, mengaku kondisi musim tanam tahun ini sangat memprihatinkan. Tanaman kacang hijau yang biasanya tumbuh subur di musim kemarau justru membusuk karena tanah yang terlalu lembab.
“Winong itu cocoknya palawija, tapi tahun ini zonk semua. Curah hujan tinggi sampai Juli bikin tanah terus lembab. Padahal kacang hijau harus kering setelah dua minggu tanam. Sekarang malah busuk dua kali,” ungkapnya belum lama ini.
Biasanya, petani menanam kacang hijau di akhir April hingga awal Mei, dan memanen pada Juli hingga Agustus. Namun tahun ini, panen padi musim kedua (MT 2) baru selesai pada akhir Mei, sehingga kacang hijau baru bisa ditanam pada awal Juli waktu yang seharusnya sudah masuk masa panen.
“Budidaya kacang hijau itu 70 hari. Tapi karena MT 2 panennya molor, kacang hijau baru bisa ditanam bulan Juli. Padahal Juli-Agustus itu sudah masuk musim panen kalau normal,” tambah Suwardi.
Tahun 2025 menjadi tahun terberat bagi para petani di Winong dan Pucakwangi. Di MT 1, petani padi menghadapi kekeringan ekstrim selama 60 hari. Di MT 2, tanaman padi diserang hama penggerek batang. Kini, di MT 3, kacang hijau yang menjadi andalan palawija justru gagal total.
“MT 1 kekeringan, MT 2 diserang hama, MT 3 palawija busuk. Lengkap sudah penderitaan petani tahun ini,” ujar Suwardi dengan nada lesu.
Ia memperkirakan penurunan produksi kacang hijau mencapai 75 persen dibanding tahun lalu. Jika di 2024 produktivitas mencapai 3 ton per hektar, kini hampir tidak ada yang berhasil dipanen.
Kondisi ini menunjukkan pentingnya peran pemerintah dalam membantu petani beradaptasi dengan perubahan iklim. Teknologi pertanian yang tahan terhadap cuaca ekstrem, sistem irigasi dan drainase yang memadai, hingga edukasi pola tanam adaptif menjadi kebutuhan mendesak.
Petani berharap ada solusi jangka panjang, bukan hanya bantuan sesaat, agar musim tanam berikutnya tidak kembali menjadi mimpi buruk. (Juri/Jurnal)