Jurnalindo.com – Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di berbagai Perguruan Tinggi Negeri (PTN) tengah menjadi polemik yang semakin memanas. Sejumlah PTN menetapkan UKT terbaru dengan mengacu pada Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada PTN di Lingkungan Kemendikbudristek.
Polemik ini semakin meruncing setelah pernyataan dari Plt Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Tjitjik Sri Tjahjandarie, yang menyatakan bahwa pendidikan tinggi merupakan tertiary education yang bukan program wajib belajar. Tjitjik menegaskan bahwa tidak semua lulusan SLTA-SMK wajib masuk perguruan tinggi karena sifatnya pilihan, sehingga pendanaan pemerintah tidak difokuskan untuk pendidikan tinggi. dilansir dari detik.com
Respon BEM SI dan DPR
Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia (SI) telah mengadukan kenaikan UKT hingga 500% di beberapa PTN ke Komisi X DPR RI. Aduan ini berakhir dengan pemanggilan Mendikbudristek Nadiem Makarim oleh DPR.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Syaifudian, menyesalkan pernyataan Tjitjik Sri Tjahjandarie. Hetifah menilai bahwa hak pendidikan warga negara merupakan tugas yang harus dipenuhi oleh pemerintah.
“Sangat disesalkan. Saya kira tidak semestinya pemerintah menyampaikan pernyataan seperti itu. Secara normatif memang wajib belajar hanya sampai tingkat sekolah menengah. Namun ini batas minimal pemenuhan tanggung jawab pemerintah untuk memenuhi hak pendidikan bagi warga negara,” ungkap Hetifah kepada wartawan pada Sabtu (18/5/2024).
Anggota Komisi X DPR, Ledia Hanifa Amaliah, juga menyayangkan pernyataan Kemendikbudristek. Ledia mengkritik pernyataan tersebut karena dilontarkan saat mahasiswa dan orang tua tengah mengeluhkan kenaikan UKT yang signifikan.
“Pemerintah malah berkelit kalau kuliah itu tertiary education, pilihan pribadi untuk lanjut ke jenjang lebih tinggi, bukan prioritas pemerintah. Reaksi ini menurut saya sangat sembrono, tidak solutif dan ibarat Jaka Sembung naik ojek, nggak nyambung, Jek,” jelas Ledia dalam laman DPR.
Pernyataan Anies Baswedan
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 2014-2016, Anies Baswedan, juga menyoroti persoalan UKT. Menurutnya, beban biaya kuliah seharusnya dialihkan dari keluarga ke negara.
“Biaya pendidikan tinggi itu memang mahal. Dan negara harus memutuskan kepada siapa biaya ini diberikan, dibebankan. Kalau biaya itu dibebankan kepada keluarga, maka yang mampu merasakan pendidikan tinggi adalah mereka yang sudah makmur,” tegasnya usai silaturahmi dan halalbihalal dengan PKL dan warga kampung jaringan rakyat miskin kota di Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara pada Minggu (19/5/2024) lalu.
Anies menegaskan bahwa negara harus mengalokasikan lebih banyak anggaran untuk pendidikan tinggi, agar masyarakat dari semua kalangan bisa merasakan pendidikan tinggi. “Negara harus alokasikan anggaran lebih banyak, menanggung biaya lebih besar, supaya rakyat, keluarga-keluarga kebanyakan bisa kuliah,” kata dia.
Anies berharap solusi atas polemik UKT tidak cuma berpatok pada persentase kenaikan anggaran, tetapi juga membahas hal mendasar seperti beban yang diambil oleh negara, sehingga tidak ditanggung oleh keluarga.
Respons Majelis Rektor PTN
Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI) juga ikut merespons. Mereka menyebutkan bahwa rata-rata UKT di PTN mencapai 5 hingga 9 kelompok. Namun, pasca penyesuaian terbaru, beberapa PTN menambah kelompok UKT hingga belasan. Menurut Majelis Rektor, penambahan kelompok dilakukan demi UKT yang tetap terjangkau.
“Upaya yang dilakukan oleh PTN agar pembiayaan UKT lebih berkeadilan dan terjangkau oleh semua pihak adalah memperluas rentang kategori pembiayaan pendidikan melalui penambahan beberapa kategori yang disesuaikan dengan kemampuan berbagai lapisan masyarakat,” jelas Majelis Rektor dalam keterangan resmi pada Senin (20/5/2024).
Majelis Rektor mengatakan bahwa penyesuaian ini berusaha menyeimbangkan antara besaran BKT dan UKT di PTN. Mereka juga menjamin bahwa mahasiswa berprestasi masih dapat menempuh pendidikan tinggi tanpa terkendala biaya.
“MRPTNI memberi jaminan kepada masyarakat bahwa seluruh mahasiswa Indonesia yang terindikasi memiliki kemampuan akademik baik, akan memperoleh kesempatan menempuh pendidikan di PTN seluruh Indonesia, tanpa terkendala dengan besaran UKT di setiap PTN,” terangnya.
Majelis Rektor juga berharap masyarakat bisa lebih proaktif dalam mengakses informasi mengenai biaya kuliah, mengingat PTN mempunyai struktur pembiayaan yang berbeda.
Pandangan Pakar Pendidikan
Pengamat kebijakan pendidikan dari UGM, Dr. Subarsono, menilai respons Kemendikbudristek kurang tepat, khususnya soal pendidikan tinggi yang disebut tidak wajib.
“Menurut saya respons Kemendikbud kurang elok karena dikaitkan bahwa pendidikan tinggi bukan wajib. Konstitusi nasional kita yakni UUD 45 pasal 31 (1) menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan terlepas dari pendidikan dasar atau pendidikan tinggi,” ujarnya, Senin (20/5/2024).
Dr. Subarsono menegaskan bahwa negara dan pemerintah semestinya memfasilitasi pendidikan untuk semua anak bangsa, yang salah satu wujudnya adalah meringankan biaya. Ia juga menyarankan agar pemerintah memfasilitasi PTN dalam meningkatkan kualitasnya supaya mampu berkompetisi dengan pendidikan di luar negeri.
Soal polemik yang ada saat ini, Dr. Subarsono berpendapat pemerintah seharusnya menjelaskan dengan terus terang. “Pemerintah dalam merespons polemik hendaknya secara terus terang menyatakan bahwa pemerintah menghadapi keterbatasan anggaran, sehingga terpaksa mengurangi subsidi kepada semua PTN,” jelasnya.
Dr. Subarsono juga menyarankan calon mahasiswa baru yang ingin kuliah tetapi terganjal biaya untuk mengajukan bidikmisi atau yang kini disebut KIP Kuliah. “Mereka dapat mengajukan keringanan melalui skema bidikmisi atau skema beasiswa dari sektor swasta yang lain,” kata Dr. Subarsono.
Polemik kenaikan UKT ini memerlukan solusi yang komprehensif dan berkeadilan, agar hak pendidikan warga negara tetap terpenuhi tanpa memberatkan mahasiswa dan orang tua.
Jurnal/Mas