jurnalindo.com – Sedekah bumi merupakan salah satu upacara adat yang melambangkan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rezeki melalui kekayaan bumi berupa segala bentuk hasil bumi. Ada juga sedekah laut, yaitu sedekah yang diadakan untuk mengungkapkan rasa syukur atas hasil laut dan yang umumnya dilaksanakan pada minggu pertama bulan Syawal.
Pertanyaannya sekarang, apa hukum dari sedekah bumi atau sedekah laut laut?
Mengingat subtansi yang dimaksudkan sama-sama untuk mengungkapkan rasa syukur atas nikmat rezeki yang telah mereka terima?
Yang pasti, proses sedekah bumi di setiap daerah berbeda-beda. Beberapa di antaranya berisi kegiatan yang murni positif, seperti tahlil, dzikir, dan pengajian umum, ada juga yang berisi kegiatan negatif, seperti sabung ayam, mempersembahkan sesajen dan sebagainya.
Sehingga hukummnya pun di perinci :
- Pertama, jika semua kegiatan positif atau yang di anjurkan, maka hukumnya diperbolehkan.
- Kedua, jika seluruh kegitan itu berupa kegiatan negatif atau beberapa jenis kegiatan yang dapat menimbulkan perbuatan salah, maka hukum itu sepenuhnya mutlak haram. Begitu pula dengan kegiatan yang campuran antara kegiatan positif dan negatif, hukumnya tetap haram.
- Ketiga, ketika terdiri dari kegiatan positif dan negatif, tetapi tidak digabungkan menjadi satu, maka yang positif diperbolehkan dan yang negatif dilarang.
Dalil pertama sebagaimana dijelaskan oleh buku hassiyah Al-Syarwani:
Isi kegiatan maulid hendaknya dibatasi pada yang menunjukkan rasa syukur, seperti bersedekah, membaca Al-Qur’an, shalawat, dan lain-lain. Adapun kegiatan seperti musik dan lain-lain, jika dikatakan bahwa mereka adalah hal mubah yang hanya mengekspresikan kegiatan pada hari itu, maka itu diperbolehkan, sedangkan hal yang makruh, atau khilaf harus dihindari” (Hassiya Al-Sirwani, juz 7: 490).
Adapun dalil kedua, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Umdatul al-Mufti dan al-Mustasfi:
“Andai pelaksanaan khataman Al-Qur’an di masjid menjadikan masjid kotor, tidak menghormati masjid, dan main-main dan hal itu tidak bisa dipisahkan dari kegiatan khataman, maka hukum melaksanakan khataman di masjid menjadi haram.” (‘Umdatul al-Mufti wal Mustasfi, Juz 1: 119)
Dalil ketiga, sebagaimana dijelaskan oleh Serho Ratib Al-Haddad:
“Hal yang benar tidak bisa ditinggalkan karena hal batil. Jika hal batil bisa dihilangkan, maka wajib dilakukan. Jita tidak, maka seseorang diberi pahala atas kebenciannya pada hal tersebut dalam hati.” (Syarhu Ratib al-Hadad: 106)
Meskipun tidak ada kata “sedekah bumi” dalam reddaksi di atas, intinya sejalan dengan mengekspresikan atau mengungkapkan rasa syukur dan terima kasih. Rasa syukur dapat kita ungkapkan melalui berbagai kegiatan positif yang tidak bertentangan dengan syariat Islam yang merupakan hukum mutlak.
Berbeda dengan hukum Islam, ini memiliki arti yang sangat luas. Namun acuan yang dapat dijadikan batasan dalam konteks hukum Islam adalah semua unsur yang tidak menyekutukan Allah dan merugikan sesama.
Contoh:
Sedekah bumi di kuburan dengan menyuguhkan berbagai sesajen kepada leluhur yang mereka yakini sebagai figur yang turut mensukseskan hasil bumi yang diperoleh. Jelas hal ini di haramkan, sebab ada unsur menyekutukan Allah SWT.
Sedekah bumi dengan menanggap hiburan yang dapat menimbulkan berbagai hal negatif, seperti bercampurnya antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, mabuk-mabukan, berjoget, dan sebagainya.
Menyinggung sedikit dari Syarhu Ratib al-Hadad, ketika seseorang tidak memiliki otoritas untuk mencegah kegiatan-kegiatan negatif di daerahnya, maka cukup baginya menjauhi dan membencinya. Sebab, kebenciannya nanti akan dibalas dengan pahala karena sama-sama membenci terhadap apa yang Allah benci, Wallahu A’lam
Demikian Hukum Sedekah Bumi yang bisa kami rangkum, semoga dengan adanya artikel ini bisa menambah wawasan pengetahuan kita semua. Dan masih banyak lagi artikel yang menarik untuk dibaca di jurnalindo.com