Jurnalindo.com – Selama beberapa dekade, Kuwait, sebuah negara Arab kecil di kawasan Teluk, dikenal sebagai salah satu negara paling demokratis di Timur Tengah. Meskipun negara kaya minyak ini diperintah oleh keluarga kerajaan yang berhak menunjuk perdana menteri, Kuwait juga memiliki parlemen terpilih yang mewakili beragam kepentingan dengan jumlah keikutsertaan pemilih yang tinggi secara konsisten. Negara ini bahkan memiliki oposisi politik yang dapat mengkritik monarki, meskipun dalam batas-batas tertentu.
Kuwait sering digambarkan oleh para pengamat sebagai “oase demokrasi” dan “sempalan liberal” di antara negara-negara Arab di kawasan Teluk yang cenderung otokratis. Dalam daftar peringkat Freedom House, Kuwait dan Lebanon menjadi satu-satunya negara di Timur Tengah yang diklasifikasikan sebagai “punya kebebasan parsial” dalam penilaian tahunan organisasi terhadap hak-hak politik. dilansir dari detik.com
Namun, semua itu kini mungkin terancam berakhir. Pekan lalu, emir yang berkuasa di negara itu, Sheikh Meshal Al Ahmad Al Jaber Al Sabah, membekukan parlemen Kuwait yang bisa disebutkan merupakan inti dari praktik demokrasi di negara itu.
Mengapa Parlemen Kuwait Dibekukan?
Dalam sebuah pengumuman di televisi negara, Sheikh Meshal mengatakan bahwa parlemen bersama dengan beberapa bagian dari konstitusi untuk sementara dibekukan dan akan ditinjau kembali dalam “jangka waktu tidak lebih dari empat tahun.”
Keputusan ini diambil setelah terjadi kemacetan politik selama berminggu-minggu. Sheikh Meshal menyerukan digelarnya pemilihan cepat pada Maret lalu. Parlemen baru terpilih pada April, tetapi para anggotanya tidak dapat diyakinkan untuk bekerja sama dengan para menteri yang dipilih oleh keluarga kerajaan. Saat itulah Sheikh Meshal mengambil langkah drastis dengan membekukan parlemen.
“Saya tidak akan membiarkan demokrasi dieksploitasi untuk menghancurkan negara ini,” katanya, seraya menambahkan bahwa ia membuat “keputusan sulit untuk menyelamatkan negara.”
Kini, keluarga kerajaan dan 13 menteri yang baru saja ditunjuk pada Minggu (14/05) akan mengambil alih tugas dalam menjalankan pemerintahan Kuwait.
Dinamika Politik Parlemen Kuwait
Anggota parlemen Kuwait memiliki kekuasaan yang lebih besar dibandingkan dengan parlemen di negara-negara Teluk lainnya. Mereka memiliki wewenang untuk menyetujui usulan kerajaan, mengajukan pertanyaan kepada para menteri, dan bahkan menangguhkan kerja sama dengan para menteri.
Di Kuwait, “identitas dan budaya nasional berkisar pada norma sakral bahwa keluarga Sabah tidak dapat memerintah tanpa persetujuan rakyat,” ungkap Sean Yom, seorang profesor ilmu politik di Universitas Temple di AS, dalam sebuah analisa pada Maret.
Namun, sekitar satu dekade terakhir ini, para anggota parlemen menjadi lebih agresif secara politik, yang mengakibatkan makin banyak kebuntuan politik dan tidak dapat mengesahkan sejumlah undang-undang. Bahkan, dalam beberapa kasus, sejumlah anggota keluarga kerajaan yang saling bersaing, menyalahgunakan sistem ini untuk mendapatkan poin satu sama lain.
Dengan pembekuan parlemen ini, masa depan demokrasi Kuwait tampak suram. Langkah ini menunjukkan tantangan besar bagi kelangsungan sistem politik yang selama ini dipandang sebagai contoh positif di wilayah yang cenderung otoriter.
Jurnal/Mas