JurnalIndo.Com – Fenomena viral pengibaran bendera bajak laut One Piece oleh sejumlah anak muda Indonesia mulai menarik perhatian publik, termasuk dari kalangan organisasi kepemudaan. Badan Siber Ansor, sayap digital dari organisasi Nahdlatul Ulama (NU), angkat bicara dan mengingatkan pentingnya menjaga kehormatan Bendera Merah Putih, terutama menjelang peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia.
Ketua Badan Siber Ansor, Ahmad Luthfi, menyampaikan bahwa ekspresi budaya melalui simbol-simbol populer seperti Jolly Roger — bendera khas dari anime One Piece — boleh saja dilakukan, namun tidak boleh melampaui nilai-nilai kebangsaan. dilansir dari beritastu.com
“Silakan berekspresi, silakan pasang bendera One Piece atau simbol budaya lain, tetapi jangan sampai melebihi ketinggian Merah Putih. Jangan pula mengabaikan makna dan posisi sakral Bendera Negara,” tegas Ahmad Luthfi dalam pernyataan resminya, Sabtu (2/8/2025).
Luthfi menyebut bahwa semangat keberanian, petualangan, dan solidaritas yang tergambar dalam serial One Piece memang bisa dimaknai positif. Namun, ia mengingatkan bahwa simbol negara seperti Merah Putih tidak boleh dikalahkan oleh budaya populer mana pun.
“Kami memahami generasi muda kini mengekspresikan aspirasi dan identitas mereka melalui budaya populer. Namun, tetap harus dalam kerangka kebangsaan,” jelasnya.
Dalam penjelasannya, Ahmad Luthfi juga mengajak masyarakat untuk meneladani nilai-nilai yang diajarkan oleh Presiden ke-4 RI, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi tetapi tetap dalam tanggung jawab kebangsaan.
“Kita belajar dari Gus Dur. Kebebasan itu penting, tapi harus tetap dalam bingkai NKRI. Jangan sampai semangat merdeka justru mengaburkan simbol-simbol kemerdekaan itu sendiri,” lanjutnya.
Fenomena bendera bajak laut One Piece dinilai tidak bermasalah selama tidak dibawa secara ekstrem atau provokatif. Badan Siber Ansor juga mengingatkan masyarakat agar tidak mudah terprovokasi oleh narasi-narasi yang bisa memperuncing perbedaan dan memicu konflik identitas.
“Budaya pop bukan ancaman, selama kita mampu mengelolanya dengan bijak. Justru bisa jadi media penguat gotong royong dan nasionalisme,” tutupnya.
Fenomena ini sekaligus menjadi refleksi atas bagaimana generasi muda Indonesia kini mengolah makna kemerdekaan, memadukan nilai lokal dan global, tanpa melupakan jati diri bangsa.
Jurnal/Mas