Gugat Hak untuk Tidak Beragama, Raymond dan Indra Ajukan Permohonan ke MK

MK Kasih Penjelasan Panjang Lebar (Sumber Foto. detik.Com)
MK Kasih Penjelasan Panjang Lebar (Sumber Foto. detik.Com)

JurnalIndo.Com – Dua warga negara, Raymond Kamil dan Indra Syahputra, telah mengajukan gugatan terhadap sejumlah pasal dalam beberapa undang-undang yang menurut mereka mengharuskan warga untuk beragama atau menganut agama tertentu. Gugatan tersebut bertujuan agar Mahkamah Konstitusi (MK) memperbolehkan warga negara untuk tidak beragama. Permohonan ini tercatat dengan nomor perkara 146/PUU-XXII/2024.

Sidang pendahuluan kasus ini digelar pada Senin (21/10/2024) di gedung MK. Raymond dan Indra, melalui kuasa hukum mereka, Teguh Sugiharto, menyatakan bahwa hak konstitusional mereka dirugikan akibat adanya aturan-aturan yang menurut mereka membatasi kebebasan warga negara yang tidak ingin memeluk agama apapun. Mereka merasa mengalami diskriminasi dan ketidakadilan karena undang-undang yang mewajibkan warga negara untuk memiliki keyakinan agama.

Dalam petitum yang dibacakan di persidangan, para pemohon meminta MK untuk mengabulkan permohonan mereka terkait pengujian materiil beberapa undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Salah satunya adalah Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menurut pemohon seharusnya juga memberikan kebebasan bagi warga negara untuk tidak beragama. Pemohon juga mengajukan gugatan terhadap sejumlah pasal dalam UU Administrasi Kependudukan, UU Perkawinan, dan UU Sistem Pendidikan Nasional, yang mereka anggap membatasi kebebasan individu untuk tidak beragama.

Menurut Teguh Sugiharto, sistem administrasi kependudukan yang saat ini berlaku hanya memberikan pilihan terbatas untuk pengisian kolom agama di KTP, yang mengharuskan seseorang memilih dari tujuh agama yang diakui secara resmi oleh negara. Pemohon menganggap bahwa pengosongan kolom agama dapat memicu diskriminasi bagi mereka yang memilih untuk tidak beragama.

Pemohon juga merasa hak konstitusional mereka dirugikan karena aturan dalam UU Perkawinan yang mengatur bahwa perkawinan harus dilakukan menurut ketentuan agama. Mereka juga mengkritik kewajiban mengikuti pelajaran agama di sekolah dan kampus, meski tidak memiliki agama.

Nasihat Hakim MK untuk Pemohon

Setelah mendengarkan gugatan yang diajukan, hakim MK memberikan nasihat panjang lebar kepada para pemohon. Hakim MK Arief Hidayat mengingatkan bahwa Indonesia, sebagai negara yang berlandaskan Pancasila, menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama. Ia menekankan bahwa negara telah memberikan kebebasan bagi warga negara untuk menganut agama atau kepercayaan, namun tidak berarti membebaskan warga untuk tidak beragama.

“Mahkamah sebagai penjaga ideologi bangsa harus menjaga prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Konsekuensinya, setiap individu di Indonesia harus bertuhan, namun pilihan agama atau kepercayaannya diserahkan kepada masing-masing warga,” ujar Arief Hidayat.

Hakim MK lainnya, Enny Nurbaningsih, menyoroti bahwa ini adalah kasus pertama yang menggugat lima undang-undang dalam satu perkara. Dia meminta pemohon untuk memperjelas argumentasi terkait kerugian hak konstitusional yang mereka alami. Enny mengingatkan bahwa nilai-nilai dalam UUD 1945 berasal dari Pancasila, yang mengatur urusan beragama.

Selain itu, hakim MK Arsul Sani meminta pemohon untuk lebih rinci dalam menguraikan kerugian konstitusional yang mereka alami akibat pasal-pasal yang digugat. Menurut Arsul, uraian mengenai kerugian yang dialami harus lebih jelas untuk meyakinkan Rapat Permusyawaratan Hakim MK yang terdiri dari sembilan hakim.

Sidang berikutnya akan dilanjutkan setelah pemohon melengkapi berkas dan memperjelas argumentasi mereka terkait gugatan tersebut.

Jurnal/Mas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *