Jurnalindo.com, – Ketua DPP PDI-P, Deddy Yevry Sitorus, baru-baru ini menyampaikan pendapatnya mengenai gugatan terhadap Surat Keputusan (SK) perpanjangan kepengurusan PDI-P. Menurut Deddy, jika gugatan ini diterima oleh pengadilan, dampaknya bisa sangat signifikan dan berpotensi mengganggu stabilitas negara.
Gugatan ini berfokus pada SK perpanjangan kepengurusan yang dikeluarkan setelah PDI-P mempercepat pelaksanaan kongresnya pada tahun 2019. Langkah percepatan kongres dilakukan untuk menyesuaikan dengan agenda politik nasional saat itu. Deddy menilai bahwa jika pengadilan mengikuti logika penggugat, seluruh produk dan keputusan hukum yang diambil PDI-P sejak saat itu akan berpotensi menjadi tidak sah.
“Kalau logika mereka para penggugat ini diikuti, maka seluruh produk dan konsekuensi hukumnya sangat besar,” ujar Deddy dalam keterangannya pada Selasa, 10 September 2024. Menurutnya, SK perpanjangan kepengurusan tersebut, yang merupakan hasil dari percepatan kongres 2019, sangat penting untuk stabilitas keputusan politik dan administrasi partai.
Deddy menjelaskan bahwa jika pengadilan memutuskan SK tersebut tidak sah, segala keputusan yang diambil oleh PDI-P terkait Pilkada 2019 juga akan dianggap tidak sah. Salah satu contohnya adalah pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wali Kota Solo. Gibran, yang merupakan putra Presiden Joko Widodo, ditetapkan sebagai Wali Kota Solo berdasarkan SK DPP PDI-P yang diterbitkan setelah kongres dipercepat. Jika keputusan ini dinyatakan cacat hukum, maka pencalonan dan penetapan Gibran sebagai calon wakil presiden 2024-2029 juga berpotensi menjadi tidak sah.
“Kalau keputusan DPP saat itu cacat hukum, maka Gibran adalah produk cacat hukum. Artinya dia harus dianulir sebagai cawapres terpilih di 2024,” tegas Deddy. Menurutnya, syarat untuk menjadi calon wakil presiden termasuk pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah, yang berarti status Gibran sebagai cawapres bisa menjadi masalah jika SK perpanjangan kepengurusan dianggap tidak sah.
Deddy juga menilai bahwa gugatan terhadap SK perpanjangan kepengurusan PDI-P adalah sesat logika dan tidak layak diterima. “Sesat logika ini harus dihentikan dan tidak boleh difasilitasi, apalagi kalau motivasinya adalah politik,” tambahnya.
Gugatan terhadap SK perpanjangan kepengurusan PDI-P ini telah didaftarkan di PTUN Jakarta dengan nomor perkara 311/G/2024/PTUN.JKT. Informasi mengenai gugatan ini telah dikonfirmasi oleh pejabat Humas PTUN Jakarta, Yoyo, dan Febrina Permadi. Penggugat terdiri dari lima orang: Djupri, Jairi, Manto, Suwari, dan Sujoko, dengan Kementerian Hukum dan HAM sebagai pihak tergugat.
Saat ini, proses sidang gugatan masih dalam tahap awal, dan informasi lebih lanjut mengenai panitera pengganti, juru sita pengganti, serta tanggal sidang pertama belum ditetapkan. Nama hakim ketua dan dua hakim anggota yang akan memimpin sidang juga belum diumumkan.
Artikel ini menggambarkan kompleksitas hukum dan politik yang melibatkan SK perpanjangan kepengurusan PDI-P serta potensi dampak dari keputusan pengadilan terhadap jalannya pemerintahan dan politik nasional. (Kompas.com/Nada)